Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah didesak untuk mengevaluasi cadangan emas dan tembaga yang terkandung dalam tambang milik PT Freeport Indonesia di Papua.
Pengecekan bertujuan untuk mengetahui pasti harga saham yang layak perusahaan tambang asal Amerika Serikat (AS) tersebut.
Ini sebelum pemerintah memutuskan membeli saham yang ditawarkan Freeport senilai Rp 1,7 miliar atau setara Rp 23 triliun.
Advertisement
Direktur Energi Watch Ferdinand Hutahaean ‎mengatakan, Freeport tidak bisa menentukan harga saham sendiri dalam penawarannya, tetapi harus mengacu pada kondisi pasar.
"Yang pas menurut pasar. Nggak boleh asumsi Freeport sendiri harus sesuai dengan harga di pasar," kata dia di Jakarrta, Senin (18/1/2016).
Baca Juga
Menurut Ferdinand, mengevaluasi cadangan penting dilakukan pemerintah. Sebab jika cadangan terbukti sudah menipis dan menyebabkan harga saham perusahaan ini anjlok, Indonesia yang akan merugi.
Pada 14 Januari lalu, Freeport akhirnya menawarkan saham kepada pemerintah sebesar 10,64 persen dengan harga US$ 1,7 miliar atau ‎Rp 23 triliun.
Penawaran saham ini sesuai dengan aturan kewajiban divestasi Freeport mengacu ke Peraturan Pemerintah Nomor 77Â Tahun 2014.
Dalam beleid tersebut mengatur tiga kategori divestasi perusahaan tambang asing. Jika perusahaan tambang asing hanya melakukan kegiatan pertambangan maka divestasi sebesar 51 persen.
Jika perusahaan tambang melakukan kegiatan pertambangan dan terintegrasi dengan pengolahan dan pemurnian maka divestasi sebesar 40 persen dan jika perusahaan tambang asing melakukan kegiatan tambang bawah tanah (underground) maka divestasi 30 persen.
Untuk Divestasi Freeport dilakukan bertahap. Di mana pemerintah telah memiliki 9,36 persen. Freeport hanya diwajibkan melepas 10,64 persen saham dan di 2019 sebesar 10 persen saham. (Pew/Nrm)
Â