Liputan6.com, Jakarta - Gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) kembali menghantui Indonesia. Setelah industri padat karya di tahun lalu, kini nasib serupa menimpa perusahaan minyak di dunia maupun di Indonesia akibat anjloknya harga minyak dunia hingga menembus di bawah US$ 30 per barel.
Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (IRESS), Marwan Batubara mengungkapkan, saat ini perusahaan minyak di seluruh dunia sedang melakukan efisiensi. Mulai dari penghematan biaya operasional sampat terpaksa memecat karyawannya karena alasan harga minyak turun.
"Perusahaan minyak maupun industri yang berhubungannya, seperti kontraktor, industri pendukung di seluruh dunia tercatat sudah mem-PHK sekitar 250 ribu orang," tegasnya saat berbincang dengan Liputan6.com, Senin (25/1/2016).
Kebijakan pengurangan karyawan, kata Marwan, tidak bisa lagi terhindarkan meskipun beberapa perusahaan minyak maupun negara produsen minyak mentah mempunyai dana cadangan hingga ratusan miliar dolar Amerika Serikat (AS). Misalnya Arab Saudi, dan lainnya.
Baca Juga
"Tapi tabungan (dana cadangan) itu untuk berapa lama sih mempertahankan operasional dan karyawannya, kan juga ada batasnya. Sedangkan perusahaan minyak maupun kontraktor di Indonesia tidak punya dana cadangan, sehingga jalan satu-satunya PHK," terang Marwan.
Terpisah, Pengamat Ekonomi Politik dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Salamuddin Daeng menilai potensi PHK oleh perusahaan minyak yang ada di Indonesia, baik asing maupun nasional sangat besar. Apalagi jika harga minyak dunia jatuh ke level US$ 20 per barel.
"Kalau harga minyak sampai ke US$ 20 per barel, bisa tutup semua itu perusahaan minyak asing, yang artinya PHK, seperti Chevron. Nah orang Indonesia yang kerja di perusahaan minyak asing cukup banyak," jelasnya.
Menurutnya, perusahaan minyak asing menguasai 82 persen produksi minyak mentah di Indonesia, sementara PT Pertamina (Persero) hanya 18 persen. Namun Badan Usaha Milik Negara (BUMN) ini mengantongi 80 keuntungan terbesar berasal dari sektor hulu, eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gas (migas).
"Kalau 80 persen keuntungan ditopang oleh hulu, lalu sektor hulu dihantam penurunan harga minyak, maka Pertamina di hulu bisa ambruk, selesai sudah," tutur Daeng.
Ia memperkirakan, jumlah pegawai di perusahaan minyak milik asing maupun nasional yang akan terkena PHK bisa mencapai puluhan ribu orang. Dari data Daeng menunjukkan, pekerja di sektor migas di Indonesia mencapai separuh dari pekerja di sektor pertambangan.
"Pekerja di sektor migas separuhnya dari tambang, mungkin sekitar 50 ribu orang. Jadi bisa lebih dari itu yang terancam di PHK karena industri migas kita besar," paparnya. Â (Fik/Ndw)