Sukses

Menggapai Mimpi Penerimaan Pajak

Asumsi penerimaan pajak sebesar Rp 1.546 triliun di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2016 terlampau tinggi.

Liputan6.com, Jakarta - "Teman2 sekalian yg saya cintai, saya telah memutuskan untuk mengundurkan diri sebagai Dirjen Pajak. Pengunduran ini semata-mata sebagai bentuk tanggung jawab saya yg tidak berhasil memimpin DJP dlm mencapai target penerimaan pajak yg dapat ditolelir (diatas 85%). Perhitungan saya hanya akan mencapai 80-82% di akhir tahun 2015. Saya mengucapkan terimakasih atas dukungan dan bantuan teman2 sekalian, mohon maaf bila ada hal2 yang tidak berkenan selama ini. Semoga Dirjen Pajak y.a.d akan membawa DJP semakin Jaya, kredibel, akuntabel dan dapat dibanggakan."

Rangkaian kata-kata perpisahan tersebut disampaikan oleh Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Sigit Priadi Pramudito kepada para jajarannya melalui pesan singkat tepat di awal Desember 2015.

Sebagai orang nomor satu di Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak yang dipilih melalui lelang jabatan, Sigit memiliki tugas berat yaitu menggenjot penerimaan pajak sesuai yang tertuang dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP) 2015 hingga Rp 1.294,25 triliun, atau naik kurang lebih 43 persen dari target sebelumnya yang tercatat Rp 900 triliun.

Sigit dilantik sebagai orang nomor satu di Ditjen Pajak Kemenkeu pada 6 Februari 2015. Terhitung 9 bulan bekerja, Sigit mengundurkan diri karena merasa tak bisa mencapai target untuk meraup penerimaan pajak di tengah pelemahan ekonomi Indonesia.

Data Ditjen Pajak memang membuktikannya. Realisasi penerimaan pajak dari awal tahun sampai dengan awal November 2015 atau sebelum Sigit mengundurkan diri baru mencapai Rp 774,48 triliun. Pencapaian ini masih jauh dari target atau baru mencapai 59,84 persen dari target dalam APBN-P 2015. Kinerja penerimaan pajak tersebut sebenarnya hanya turun tipis dibanding periode yang sama tahun sebelumnya yang tercatat Rp 776,2 triliun.

Untuk menggantikan Sigit, Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro langsung menunjuk Ken Dwijugiastadi sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Dirjen Pajak. Ken merupakan Staf Ahli Dirjen Pajak Kemenkeu. "Sudah dilantik Pak Ken sebagai Plt sampai ditunjuk yang definitif atau yang baru. Berlaku per 2 Desember 2015," ucap Bambang.

Ken Dwijugiastadi sendiri cukup yakin bisa menggenjot realisasi penerimaan pajak dalam sisa waktu satu bulan. Ia mengungkapkan memiliki trik khusus untuk mencapai realiasi penerimaan pajak tersebut. Ia menegaskan besar kemungkinan target tercapai. "Itu kan masih bisa (penerimaan pajak), mudah-mudahan bisa. Kalau meramal saya tidak bisa‎," tuturnya.

Tantangan Mencapai Target Pajak
Dua orang petugas memberikan penjelasan mengenai proses pembayaran pajak, di Gerai Pajak, Tanah Abang, Jakarta, Selasa (1/9/2015). Gerai layanan terpadu merupakan kerjasama antara Dirjen Pajak KPP dan Pemprov DKI Jakarta. (Liputan6.com/Johan Tallo)
Menteri Bambang sebenarnya mengakui bahwa sulit untuk mencapai penerimaan pajak di kisaran Rp 1.300 triliun sesuai target dalam APBNP 2015. "Masalahnya sejak 2012, kinerja penerimaan pajak Indonesia jelek sekali. Bukan karena perekonomian jelek, tapi karena tax administration atau pengumpulan pajak yang lemah," keluh dia saat berbincang dengan Liputan6.com.

Bambang menyebutkan, ada tiga penyebab buruknya pengumpulan pajak tersebut. Pertama, kepatuhan WP sangat rendah yaitu hanya sekitar 50 persen. Kedua, adanya kebocoran penerimaan pajak terutama dari restitusi atau pengembalian pajak, khususnya dari Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Ketiga, basis WP yang kecil.

"Meski jumlah penduduk 250 juta orang, yang punya Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) hanya 28 juta orang atau sedikit di atas 10 persen. Yang menyampaikan SPT rutin hanya 10 juta WP dan yang membayar penuh sesuai ketentuan cuma 900 ribu orang. Itu WP Orang Pribadi," jelasnya.

Sementara kondisi serupa juga dialami Direktorat Jenderal Pajak di sisi WP Badan Usaha. "Jadi kita mau perbaiki kepatuhan bukan menaikkan tarif pajak," pungkas Bambang.

Pengamat Ekonomi dari Universitas Indonesia, Firmanzah berpendapat lain. Menurutnya, siapapun orang yang menjabat sebagai Dirjen Pajak tidak akan sanggup memenuhi target tersebut. Lantaran, target yang ditetapkan dalam APBNP 2015 tersebut tidak realistis. "Saya rasa siapa pun dirjen pajaknya akan kesulitan ya untuk memenuhi target. Karena memang menurut saya targetnya tidak realistis," ujar dia.

Firmanzah menjelaskan, dengan kondisi ekonomi seperti sekarang, dunia usaha akan mengalami perlambatan. Sedangkan sumber penerimaan pajak terbesar salah satunya berasal dari sektor usaha. "Ya kalau dengan kondisi perekonomi yang melambat tentunya dunia usaha juga akan melambat. Kalau dunia usaha melambat maka akan ikut mempengaruhi juga terhadap penghasilan, pendapatan pajak juga akan melambat. Dan benar bahwa realisasinya masih Rp 800 triliun," jelas Firmanzah.

Firmanzah menuturkan, pemerintah ke depannya tidak perlu lagi menetapkan penerimaan pajak yang terlalu ambisius. Pemerintah lebih baik fokus pada perbaikan ekonomi dalam negeri untuk mendorong pertumbuhan sektor usaha.

Realisasi pajak 2015
Menkeu, Bambang Brodjonegoro memberikan keterangan resmi terkait penerimaan pajak tahun 2015 di Direktorat Pajak, Jakarta Senin, (11/1). Total penerimaan pajak adalah 7.15% angka tersebut lebih meningkat di tahun 2014. (Liputan6.com/Faisal R Syam)
Ternyata, realisasi penerimaan pajak pada 2015 kemarin tak terlalu jelek meskipun memang masih jauh dari target. Ditjen Pajak telah mengumpulkan penerimaan pajak lebih dari Rp 1.000 triliun hingga 25 Desember 2015. Pencapaian tersebut merupakan prestasi bagi Ditjen Pajak karena berhasil mencetak rekor pertama kali dalam sejarah Indonesia. "Iya sudah melampaui Rp 1.000 triliun. Yang pasti sudah melewati tahun lalu. Itu (pencapaian) rekor," tegas Bambang. 

Kata Bambang, penerimaan pajak yang tembus lebih dari Rp 1.000 triliun berasal seluruh sumber pungutan baik Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Penjualan (PPn), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), dan lainnya. "Porsi terbesar setoran pajak disumbang dari PPh," paparnya.

Berdasarkan perhitungan sementara, realisasi pendapatan negara mencapai Rp 1.491,5 triliun atau 84,7 persen dari target yang tercatat Rp 1.761,6 triliun. Penerimaan tersebut merupakan penjumlahan dari penerimaan pajak, bea cukai serta penerimaan negara bukan pajak (PNBP).

Khusus untuk realisasi penerimaan pajak mencapai Rp 1.235,8 triliun atau sekitar 83 persen dari target Rp 1.489,3 triliun. Namun jika memperhitungkan kas yang dialokasikan untuk restitusi pajak, maka realisasi pajak netto mencapai Rp 1.055 triliun. Sedangkan targetnya sendiri adalah Rp 1.294,25 triliun.

2 dari 3 halaman

Pilah Pilih Dirjen Pajak Baru

Pilah Pilih Dirjen Pajak Baru

Sigit Priadi Pramudito menyerahkan jabatannya sebagai Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan (Kemenkeu) di awal Desember 2015 lalu. Ia merasa tak mampu mengejar target penerimaan pajak yang dipatok Rp 1.294,25 triliun dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2015.

Sigit didapuk dan dilantik sebagai orang nomor satu di Ditjen Pajak Kemenkeu pada 6 Februari 2015. Ia dipilih dari hasil lelang jabatan pada tahun lalu. Baru 9 bulan bekerja, Sigit mengundurkan diri. Menteri Keuangan (Menkeu), Bambang Brodjonegoro menjelaskan, sebagai penggantinya sudah ditunjuk dan dilantik Ken Dwijugiastadi sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Dirjen Pajak.

Ken merupakan Staf Ahli Dirjen Pajak Kemenkeu. "Sudah dilantik Pak Ken sebagai Plt sampai ditunjuk yang definitif atau yang baru. Berlaku mulai 2 Februari 2015," ucap Bambang.

Menkeu Bambang mengaku belum terpikir untuk mencari sosok Dirjen Pajak definitif atau tetap, baik melalui penunjukkan langsung maupun lelang jabatan seperti yang pernah dilakukan. Saat ditanyakan mengenai hal tersebut, Bambang malah melontarkan kalimat guyonan. "Lelang ikan kali. Pokoknya yang paling penting Plt Dirjen Pajak mengamankan tugas," tegas Bambang.

Kembali lelang jabatan?
Ilustrasi Lelang Jabatan (Liputan6.com/Johan Fatzry)
Pengamat Perpajakan, Yustinus Prastowo mengatakan, lela‎ng jabatan Dirjen Pajak bukan hal penting lagi mengingat hasil dari proses pencarian secara terbuka tahun lalu belum memuaskan dilihat dari reaalisaasi penerimaan target di APBN-Perubahan 2015.

"Menurut saya, lelang tidak wajib, yang penting dibuat seleksi terbuka atau tertutup. Kita kan belum lama ini melaksanakan lelang dan hasilnya belum memuaskan. Prinsip saya ada luka-luka di lelang lalu yang belum sembuh. Kalau muncul pasti ada gesekan lagi," ujarnya.

Demi kemajuan institusi Ditjen Pajak, Prastowo menyarankan agar Tim Penilai Akhir (TPA) langsung menyodorkan tiga-empat nama calon Dirjen Pajak dan Presiden Jokowi akan menunjuk langsung Dirjen Pajak. Nama-nama itu berasal dari hasil seleksi tahun lalu karena sudah ada rekam jejak yang bisa terdeteksi dari PPATK maupun KPK. Ia berpendapat, orang internal sangat cocok sebagai Dirjen Pajak.

"Sebaiknya‎ dilakukan penunjukkan saja. Presiden tinggal menunjuk calon Dirjen Pajak dari hasil seleksi tahun lalu karena sudah clean and clear dari PPATK, KPK . Ambil dari internal yang punya leadership dan kompetensi ," ujarnya.

Prastowo melanjutkan, bulan ini merupakan kesempatan bagi Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro untuk mengambil keputusan dengan memilih dari pihak internal. Kalaupun tidak, memilih pihak luar yang memiliki kompetensi. "Calon dari internal bisa dilakukan. Cukup dinilai Menteri Keuangan yang kerja siapa yang tidak kerja siapa," ujar dia.

Ia mengatakan, Bambang telah mengetahui track record kerja para pegawainya. Namun menjadi catatan, setidaknya calon yang dipilih sekelas Direktur. "Tinggal diserahkan Presiden. Presiden yang memilih," tandas dia.

Sigit korban politik?
Dirjen Pajak, Sigit Priadi Pramudito saat menghadiri rapat dengan Pansus Pelindo II DPR RI, Jakarta, Senin (16/11/2015). Pansus Pelindo II kembali memanggil pihak-pihak yang diduga berkaitan dengan pengadaan mobile crane. (Liputan6.com/Johan Tallo)
Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FEUI), Anwar Nasution menduga pengunduran diri Sigit Priadi Pramudito sebagai Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak Kementerian Keuangan bukan saja karena alasan tidak sanggup mencapai target penerimaan pajak. Tapi ada faktor lain di balik sikap Sigit tersebut. "Sikap Sigit pantas dihargai, karena kalau memang tidak sanggup, bilang tidak sanggup," ujar Anwar saat dihubungi Liputan6.com.

Posisi penting Dirjen Pajak diwarnai unsur kepentingan politis karena pemerintah perlu bekerjasama dengan parlemen untuk dapat menggolkan setiap program yang menyangkut pungutan pajak kepada rakyat. Belum lagi tekanan sana sini dengan kepentingan masing-masing, termasuk ada tudingan pihak yang ingin melindungi para pengemplang pajak.

"Dirjen Pajak mungkin dapat tekanan dari orang-orang yang mau mencari keuntungan. Langkah beliau yang benar dijegal oleh orang yang tidak suka dengannya. Mungkin orang ini yang melindungi orang yang tidak mau bayar pajak," ucap Anwar.

Deputi Kemenko Perekonomian Bidang Koordinasi Fiskal dan Moneter, Bobby Hamzar Rafinus mengungkapkan, pengunduran diri seperti konsekuensi bagi Dirjen Pajak karena tidak dapat mengumpulkan penerimaan pajak sesuai target. "Beliau diangkat dengan janji pencapaian target namun sulit mencapai target yang dijanjikan. Jadi saya kira itu (pengunduran diri) sportivitas," tutur Bobby.

Ia menilai, pengunduran diri Sigit Priadi sebagai orang nomor satu di Ditjen Pajak tentu didasari pertimbangan kuat dan matang. Lantaran, Presiden Jokowi memilih Sigit agar mengumpulkan setoran pajak setinggi-tingginya sehingga mencapai target yang ditetapkan.

"Sebagai pejabat, beliau belajar dari pengalaman tahun ini. Bahwa dalam kondisi sekarang, sulit mencapai apa yang diharapkan pemerintah. Padahal beliau penanggungjawab di bidang pajak," tegas Bobby.

Anggota Komisi XI DPR Mukhamad Misbakhun mengapresiasi pengunduran diri Dirjen Pajak Sigit P Pramudito. "Pengunduran diri beliau sebagai sebuah langkah yang memberikan hikmah keteladanan bagi siapa pun pengemban amanat dan tugas negara yang dimilikinya," kata Misbakhun.

Menurut dia, jabatan mempunyai makna dan tanggung jawab yang harus ditunaikan dengan penuh dedikasi. "Dalam konteks ini, Pak Sigit memberikan teladan bagi kita semua bahwa kinerja yang terukur dalam menjalankan tugas adalah sangat penting karena negara menjadi taruhannya," ujar dia.

3 dari 3 halaman

Tax Amnesty Jadi Andalan Penerimaan Pajak 2016

Tax Amnesty Jadi Andalan Penerimaan Pajak 2016

Pemerintah menargetkan penerimaan pendapatan negara sebesar Rp 1.822 triliun dalam APBN 2016 yang terdiri dari perpajakan Rp 1.546 triliun, penerimaan negara bukan pajak Rp 273 triliun, dan penerimaan hibah Rp 2 triliun. Wakil Presiden Jusuf Kalla menerangkan target tinggi yang ditetapkan memerlukan usaha keras pemerintah untuk mencapainya.

JK menjelaskan salah satu cara untuk mencapai target pajak itu dengan menerapkan tax amnesty. Tax amnesty merupakan pengampunan pajak dengan menghapus pajak terutang, dengan imbalan pembayaran pajak yang tarifnya dikenakan lebih rendah atau tidak dikenakan denda.

Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian akan melakukan efisiensi belanja dalam Anggaran Pendapatan dan Belanaja Negara Perubahan (APBNP) 2016. Langkah tersebut dilakukan guna mengimbangi penerimaan negara dari pajak yang diperkirakan tidak sesuai target pada tahun depan.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Darmin Nasution mengatakan, akan mengurangi biaya-biaya yang kurang penting. Kemudian, mengurangi pengeluaran dari anggaran yang menggunakan bahasa bersayap atau multitafsir.

Sebagai contoh, jika pemerintah mengalokasikan belanja untuk membeli benih sebaiknya ditulis untuk pembelian benih. Bukan menggunakan terminologi lain seperti pemberdayaan petani. "Sebetulnya harus dikurangi dari yang kurang penting seperti biaya perjalanan. Terminologi yang rancu dalam penganggaran, contoh kata pemberdayaan petani," kata dia.

Sementara, perlambatan ekonomi turut menyumbang tak tercapainya target pajak tahun ini. Darmin menuturkan, dengan realisasi 82 persen sampai 83 persen merupakan capaian yang baik. Sayangnya, jika dijadikan acuan target penerimaan APBN 2016 sebesar Rp 1.368,5 triliun terhitung tinggi.

"Kalau realisasi 2015 dipakai dasar penerimaan APBN 2016, pertumbuhan penerimaan meledak lagi, naik sangat tinggi. Kalau tidak salah mendekati 40 persen juga," ujarnya.

Menurut Darmin, APBNP 2016 lebih baik cepat dilakukan. Hal tersebut akan memberikan kepastian dan menghindari risiko kekurangan penerimaan yang lebih besar pada tahun depan.

"Oleh karena itu, walaupun ada rencana menjalankan tax amnesty, kelihatannya APBN harus lebih cepat diamandemen. Kita tidak bisa seperti di 2015 selalu dibilang nanti bisa, tahu-tahu hasilnya lain. Kepastian dan kejelasan harus ada. Sehingga kalau dibuat APBNP agak cepat itu akan lebih menolong pada kejelasan, dan resiko menjadi lebih kecil," tandas dia.

Target Pajak Tak Realistis?
(Liputan6.com)
Pengamat perpajakan sekaligus Managing Partners CITASCO, Ruston Tambunan menilai asumsi penerimaan pajak sebesar Rp 1.546 triliun di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2016 terlampau tinggi. Target ini kurang realistis melihat proyeksi pertumbuhan ekonomi sebesar 5,3 persen pada tahun depan. "Kalau lihat jumlahnya sih tidak realistis ya, karena ketinggian sehingga perlu direvisi," ujar Ruston saat dihubungi Liputan6.com. 

Kalaupun pemerintah tetap mempertahankan target penerimaan pajak sebesar itu pada 2016, Ruston optimistis Direktorat Jenderal Pajak dapat memaksimalkan setoran pajak karena didukung program pengampunan pajak (tax amnesty) dan data perpajakan yang lebih baik. 

"Jika tax amnesty berhasil, maka basis wajib pajak akan naik. Ini jadi tantangan bagi Ditjen Pajak. Apalagi tahun depan ada penegakkan hukum, data wajib pajak semakin kaya. Kalau effort sungguh-sungguh, target bisa dikejar," terangnya. 

Namun Darmin masih bungkam terhadap target penerimaan pajak yang dipatok tahun depan apakah realistis atau tidak. "Ya nanti saja itu urusannya lebih berat lagi jawabnya," papar Darmin. 

Sementara itu, dengan tingginya target penerimaan pajak dalam APBN 2016, muncul kekhawatiran bahwa Dirjen Pajak setelahnya akan bernasib sama dengan Sigit di tengah ketidakpastian ekonomi dunia. 

"Jika kepemimpinan kuat dan taktis, saya yakin hasilnya bisa berbeda. Faktor kepemimpinan sangat menentukan konsolidasi dan koordinasi," ucap pengamat perpajakan Yustinus Prastowo. (Gdn/Zul)