Sukses

Pemerintah Harus Turun Tangan Tentukan Harga Listrik Panas Bumi

Jika produksi listrik yang dihasilkan dari BBM dikonversi ke listrik panas bumi, penghematan biaya yang diperoleh sekitar Rp 32 triliun.

Liputan6.com, Jakarta - Masalah utama yang menjadi penyebab pengembangan energi panas bumi di Indonesia berjalan lambat adalah kebijakan harga jual listrik yang dihasilkan oleh Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP). Padahal energi dari panas bumi memiliki banyak kelebihan jika dibandingkan dengan energi dari fosil.

Direktur Eksekutif Refomainer Institute, Komaidi Notonegoro mengatakan,‎ ‎dalam menentukan harga jual listrik dari pembangkit panas bumi seringkali tidak mendapatkan titik temu antara pengembang dan pembeli yaitu PT PLN (Persero). Padahal selama ini pemerintah telah menerbitkan regulasi untuk mengatasi permasalahan harga jual tersebut.

"Diantaranya adalah Peraturan Menteri (Permen) Energi dan Sumber Daya MIneral (ESDM) Nomor 14 Tahun2008 tentang Harga Patokan Penjualan Tenaga Listrik dari Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi," jelasnya di Jakarta, Kamis (28/1/2016).

Selain itu, Menteri ESDM juga telah mengeluarkan Permen ESDM Nomor 32 Tahun2009 tentang Harga Patokan Pembelian Tenaga Listrik Oleh PT PLN (Persero) dari Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi dan Permen ESDM No.17 Tahun 2014 tentang Pembelian Tenaga Listrik dari PLTP dan Uap Panas Bumi Untuk PLTP Oleh PT PLN (Persero). 

Menurut Komaidi, dari informasi yang dihimpun, untuk tahun 2015 harga penyediaan listrik panas bumi cukup kompetitif dibandingkan dengan listrik yang dihasilkan dari energi fosil. Biaya bahan bakar penyediaan listrik untuk masing-masing jenis energi pada tahun 2015 yaitu, BBM Rp 1.912 per kWh, Gas Alam Rp 920 per kWh, Batubara Rp 367 per kWh dan Panas Bumi Rp 696 perkWh.

Jika produksi listrik yang dihasilkan dari BBM dikonversi ke listrik panas bumi, penghematan biaya bahan bakar yang diperoleh sekitar Rp 32,03 triliun. Sedangkan jika listrik yang diproduksikan dari gas dikonversi ke listrik panas bumi akan menghemat biaya bahan bakar sekitar Rp 14,48 triliun.

"Dalam hal ini jika produksi listrik dari BBM dan gas secara keseluruhan dapat dikonversi ke listrik panas bumi, penghematan biaya bahan bakar yang diperoleh adalah sekitar Rp 46,52 triliun," ungkapnya.

Berdasarkan catatan tersebut, Komaidi menilai polemik pembelian uap dan atau tenaga listrik dari PLTP semestinya tidak perlu terjadi. Baik dari perspektif lingkungan maupun biaya pokok penyediaan.

"ReforMiner menilai listrik panas bumi memiliki keunggulan komparatif yang sangat besar dibandingkan listrik dari energi fosil, khususnya listrik yang diproduksikan dari BBM. Karena itu jika permasalahan PLTP Kamojang tidak bisa diselesaikan secara B to B, pemerintah harus segera melakukan intervensi," tutup Komaidi. (Pew/Gdn)

Video Terkini