Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah baru saja merilis paket ekonomi Jilid IX kemarin. Dalam paket tersebut, pemerintah akhirnya memutuskan untuk mendatangkan sapi atau kerbau bakalan serta dari produk daging tersebut tanpa tulang dari negara lain. Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman mendapat tugas untuk menetapkan negara dan unit usaha untuk memasukan sapi atau kerbau dengan memperhatikan ketentuan Organisasi Kesehatan Hewan (OIE).
Direktur ‎Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati mengaku sangsi atas langkah tersebut. Kebijakan pemerintah tersebut dianggap tidak mampu menurunkan harga daging di pasaran. "Kalau persoalan itu, penyederhanaan impor daging tidak garansi harga daging turun," ujarnya kepada Liputan6.com, Jakarta, Kamis (28/1/2016).
Enny melanjutkan, persoalan daging tidak hanya mengenai pasokan. Akan tetapi, rantai tata niaga yang sampai sekarang kurang baik. Enny menilai, saat ini tata niaga ‎daging masih dikuasi oleh pemain-pemain besar yang memungkinkan pengaturan harga atau kartel.
"Tidak hanya feedloter ini sudah jaringan, mereka saling terhubung termasuk masalah kuota impor sudah tahu pasarnya oligopoli tapi pemerintah importasi dengan kuota artinya sudah saling berkepentingan," jelasnya.
Baca Juga
Enny menegaskan, tata niaga sapi merupakan hal terpenting untuk mengendalikan harga sapi. Di sisi lain, dia mengatakan perlunya memperbaiki data pangan sehingga pengendalian harga menjadi lebuh mudah.
"Masalahnya kita punya data benar akurat berapa persediaan daging dan kebutuhan dan bagaimana distribusi sebenernya. Kalau punya data daerah yang disisir Jabodetabek Lampung, yang lain tidak disisir pemenuhan daging termasuk NTT makanya besar surplusnya. Begitu ada kapal ternak, kartel bergerak harga daging melonjak tetap murah impor," tandas dia.
Untuk diketahui, pemerintah mengumumkan paket kebijakan jilid IX yang isinya terdapat tiga poin. Dari tiga poin tersebut salah satunya mengenai kebijakan demi menurunkan harga daging sapi di pasaran.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengungkapkan kebijakan tersebut yaitu‎ menetapkan negara atau zona dalam suatu negara, unit usaha atau farm untuk pemasukan ternak dan/atau produk hewan ternak itu sendiri. "Dengan demikian, pemasukan ternak dan produk hewan dalam kondisi tertentu tetap bisa dilakukan," kata Darmin.
Penetapan zona wilayah impor tersebut nantinya juga memberikan peluang bagi negara-negara lain tidak hanya Australia saja yang bisa memasok sapi bakalan atau daging sapi ke Indonesia.
Namun begitu, penetapan zona wilayah ini, Darmin menegaskan tetap tergantung dari‎ Organisasi Kesehatan Hewan Internasional (OIE) apakah negara yang bersangkutan dinyatakan bebas dari penyakit mulut dan kuku.
Ada pun jenis ternak yang dapat dimasukkan ke Indonesia nantinya berupa sapi atau kerbau bakalan, sedangkan produk hewan yang bisa didatangkan berupa daging tanpa tulang dari ternak sapi atau kerbau.Â
"Kebijakan ini diharapkan mampu menstabilisasi pasokan daging dalam negeri dengan harga yang terjangkau dan kesejahteraan peternak tetap meningkat," ujar Darmin.
Darmin memaparkan, kebutuhan nasional daging sapi adalah 2,61 per kapita pada 2016 sehingga kebutuhan nasional setahun mencapai 674,69 ribu ton atau setara dengan 3,9 juta ekor sapi.
Sayangnya, kebutuhan tersebut belum dapat dipenuhi oleh peternak dalam negeri, karena produksi sapi hanya mencapai 439,53 ribu ton per tahun atau setara dengan 2,5 juta ekor sapi. Jadi terdapat kekurangan pasokan yang mencapai 235,16 ribu ton yang harus dipenuhi melalui impor. (Amd/Gdn)
Â
Advertisement