Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) mendapatkan informasi jika belum ada perusahaan pencari minyak dan gas b‎umi atau Kontraktor Kontrak Kerjasama (KKKS) yang berencana melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM I Gusti Nyoman Wiratmaja mengaku informasi ini didapat usai berdiskusi dengan KKKS terkait perkembangan bisnis di sektor migas seiring anjloknya harga minyak dunia.
Baca Juga
Dari diskusi tersebut, KKKS menyatakan belum ada rencana untuk merumahkan para pekerja. "Saya sudah berdiskusi dengan KKKS besar kita, kebetulan KKKS belum ada rencana," kata Wirat, di Kantor Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM, Jakarta, Jumat (29/1/2016).
Dia mengatakan, salah satu KKKS yaitu Chevron Indonesia diketahui hanya melakukan efisiensi dengan merampingkan organisasi, melalui penyatuan dua unit usaha yaitu PT Chevron Pacific Indonesia dan PT Chevron Indonesia Company.
"Seperti Anda tahu Chevron menggabungkan usaha di Sumatera dan Kalimantan sehingga ada perampingan," tutur Wirat.
‎Selain itu, perusahaan minyak asal Amerika Serikat tersebut juga melakukan moratorium penerimaan pegawai baru, sampai harga minyak dunia membaik.
Pemerintah, dia mengatakan, menginginkan kalaupun langkah pemutusan pekerja harus dilakukan, ini berlangsung secara alamiah, yaitu bagi pegawai yang sudah memasuki masa pensiun.
Advertisement
Baca Juga
"Kami minta natural saja, moratorium pegawai baru bisa kita maklumi, jadi belum ada rencana tahun ini mereka menerima pegawai baru, kalau harga minyak bagus baru menerima," tutup Wirat.
Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (KSBSI) sebelumnya menyebut anjloknya harga minyak dunia hingga ke kisaran US$ 30 per barel, yang merupakan level terendah sejak 2004, akan membuat perusahaan-perusahaan minyak di dunia merugi dan mengancam Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) para pekerja di sektor migas secara besar-besaran.
Menurut Presiden KSBSI Mudhofir Khamid, penyebab anjloknya harga minyak dunia antara lain karena kebijakan ekonomi Amerika yang menjaga harga minyak rendah akibat politik luar negeri Amerika di Timur Tengah sehingga membuat produksi minyak dunia berlebih.
"Hal lain adalah akibat perlambatan perekonomian di China yang membuat minyak semakin over suplai dan harga minyak semakin tertekan mengingat negara tersebut merupakan salah satu konsumen minyak terbesar dunia," ungkap Mudhofi. (Pew/Nrm)