Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah memprotes langkah pemerintah Prancis yang akan memberlakukan bea masuk atau pajak impor tambahan terhadap produk-produk minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) dan turunannya asal negara lain, termasuk dari Indonesia. Rencananya, Prancis akan menerapkan tambahan bea masuk bagi CPO sebesar 300 euro per ton.
Direktur Utama Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) Sawit, Bayu Krisnamurthi mengatakan, pengenaan bea masuk bagi produk ‎CPO tersebut merupakan bentuk diskriminasi. Sebab, selama ini CPO mendapat kampanye negatif di Uni Eropa dan harus bersaing dengan produk minyak nabati lain seperti minyak kedelai dan minyak biji bunga matahari.
"Kita anggap ini tidak tepat soal tambahan pajak. Bagi Indonesia, yang lebih prinsip ini soal diskriminasi terhadap produk sawit Indonesia dibanding minyak nabati lain. Dan ini menyalahi kesepakatan internasional (DeklarasiAmsterdam) di mana Prancis dan Indonesia menandatanganinya," ujarnya di Jakarta, Selasa (2/2/2016).
Baca Juga
Bayu menyatakan, Indonesia juga akan melakukan pembicaraan dengan Malaysia mengenai hal ini. Karena seperti diketahui, kedua negara tersebut merupakan negara produsen CPO terbesar di dunia. Indonesia berharap Malaysia juga mendukung penolakan yang disuarakan terhadap pengenaan bea masuk‎ ini.
‎"Tapi ini masih usulan dan dibahas di parlemen Prancis. Kita juga akan lakukan pendekatan dengan negara produsen seperti Malaysia. Saat ini masih sifatnya lobi dan ada perwakilan Indonesia yang berangkat ke Prancis dan Uni Eropa," kata dia.
Jika nantinya Prancis secara resmi telah menerapkan bea masuk ini, lanjut Bayu, maka pemerintah Indonesia akan melaksanakan upaya-upaya diplomasi termasuk membawa hal ini ke Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO).
"Kita siapkan kalau Prancis jadi menerapkan. Ada langkah-langkah diplomasi, legal dan appeal pada perintah untuk lakukan langkah yang kiranya sepadan. Ke WTO akan dilaporkan jika sudah dilakukan (diterapkan)," tandasnya.
Diskriminasi
Advertisement
Â
Â
Menurut Bayu, upaya pemerintah Perancis untuk menerapkan pajak ini merupakan bentuk diskriminasi terhadap produk CPO. ‎Selama ini CPO harus bersaing dengan jenis minyak nabati lain seperti minyak kedelai dan minyak biji bunga matahari. Selain itu, Uni Eropa juga gencar melakukan kampanye hitam terhadap produk-produk CPO.
‎"Ini merupakan langkah disktimiantif. Itu yang kita tekankan," ujarnya.
‎Bayu mengatakan, sebenarnya keberadaan CPO juga membantu perekonomian di benua biru tersebut. Pasalnya industri sawit dan industri pengolahan berbasis sawit ini mampu menciptakan lapangan kerja di Eropa dan memberikan kontribusi berupa pajak.
"Industri sawit dan berbasis sawit di Eropa menciptakan lapangan kerja dan pajak yang besar. Perancis dan Indonesia juga punya pertemanan yang baik," kata dia.
Selain itu, jika Uni Eropa termasuk Perancis berniat untuk mengurangi konsumsi CPO dan menggantinya dengan jenis minyak nabati lain, maka hal tersebut dinilai akan berdampak pada lingkungan. Sebab, saat ini konsumsi CPO menjadi paling besar dibandingkan dengan minyak nabati lainnya.
Jika porsi CPO dikurangi dan diganti dengan minyak kedelai misalnya, maka dibutuhkan pembukaan lahan baru untuk tanaman kedelai guna memenuhi kebutuhan minyak nabati.
‎Bayu menjelaskan, sebenarnya ekspor produk CPO Indonesia ke Perancis sebenarnya bukan yang terbesar. Dia menjabarkan, ekspor CPO Indonesia ke seluruh dunia sebesar 21 juta-22 juta ton. Dari jumlah tersebut, untuk tujuan Uni Eropa hanya sekitar 3,5 juta-4 juta. Sedangkan porsi ekspor ke Perancis lebih kecil lagi. (Dny/Ndw)