Liputan6.com, Jakarta Wacana pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) di Indonesia masih menjadi polemik antara bahaya dan manfaat sumber energi alternatif ini. Pemerintah kini masih sibuk mengembangkan Pusat Penelitian Tenaga Nuklir (PPTN), bukan dengan tujuan komersial.
Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi, Mohamad Nasir mengungkapkan, pembangunan PLTN belum menjadi prioritas, meski sudah ada survei yang dihasilkan PT Batan Teknologi (Persero), menyebut bahwa 75,3 persen penduduk Indonesia setuju adanya PLTN Uranium di Tanah Air.
Baca Juga
"Itu riset yang menunjukkan PLTN bisa dibangun di Indonesia. Tapi masalahnya sekarang, apakah Indonesia bisa men-declare karena di Peraturan Presiden (Perpres) belum ada," jelas Nasir saat berbincang dengan Liputan6.com, Jakarta, seperti ditulis Minggu (7/2/2016).
Advertisement
Â
Baca Juga
Dia melanjutkan, pemerintah melalui Kementerian Ristekdikti membangun reaktor nuklir mini di Serpong, selain Bandung dan Yogyakarta.
Tujuannya sebagai pusat pengembangan tenaga nuklir atau disebut Rekayasa Daya Eksperimen (RDE). Di Serpong khususnya, dibangun reaktor berkapasitas 10-15 Megawatt (Mw) untuk menjangkau seluruh pusat riset di kawasan tersebut.
"Basisnya ada riset, bukan untuk komersial tapi penelitian. Nanti kita buka sebagai tujuan wisata supaya masyarakat bisa melihat reaktor nuklir. Karena tipe masyarakat kita lihat dulu baru percaya. Kita belum berani ke publik secara komersial karena publik masih rentan menerima dengan yang namanya nuklir," terang Nasir.
Sebagai gambaran, Nasir bilang, Indonesia punya potensi membangun PLTN sebagai sumber energi alternatif alias energi terbarukan. Alasannya, dari wilayah Jawa sampai Kalimantan sudah ratusan tahun terbebas dari gempa.
"Dari Jawa bagian Utara, Sumatera bagian Timur dan Kalimantan bagian Selatan, selama 200 tahun tidak pernah ada gempa. Jadi masih aman buat bangun nuklir," katanya.
Anggota Dewan Energi Nasional (DEN), Rinaldy Dalimi sebelumnya mengatakan, ada dua daerah di Indonesia yang sangat memungkinkan untuk dibangun pembangkit nuklir, yakni Bangka Belitung (Babel) dan Kalimantan.
Pasalnya dua lokasi tersebut merupakan daerah paling aman dari gempa. Tapi belum lama ini, terjadi gempa di Babel dan Kalimantan.
"Jadi sudah tidak ada area di Indonesia yang sekarang bebas dari gempa. Padahal gempa adalah ancaman besar dari pembangkit nuklir, seperti retak atau pecah," ujarnya.
Meski demikian, Rinaldy mengatakan, PLTN dapat menyebabkan kecelakaan. Kecelakaan itu bisa berasal dari bencana alam atau gempa, kesalahan desain dan kesalahan operasi, bukan teknologi. Kecelakaan tersebut bisa terjadi di Indonesia.
"Bencana alam, kesalahan desain karena kita tidak punya teknologi sehingga kalaupun mau bangun PLTN harus 100 persen dibangun negara lain. Kita juga tidak menguasai desain, sehingga kita benar-benar tidak punya kemampuan untuk bangun PLTN," tegasnya.
Lebih lanjut dia mengatakan, realisasi PLTN hanya akan menggerus uang negara mengingat Indonesia harus mengimpor uranium dengan harga sangat mahal. Bahkan Australia, tambah Rinaldy, negara pengimpor uranium terbesar dan mempunyai deposit uranium banyak saja menyatakan tidak akan membangun PLTN.
"Belum lagi investasi bangun PLTN 4-5 kali dari PLTU. Kalau PLTU per Kilowatt (Kw) US$ 1.500, maka PLTN bisa mencapai US$ 6.000-US$ 8.000 per Kw. Sedangkan harga jualnya sudah lebih dari harga PLN, misalnya di Babel US$ 12 sen per Kw, jadi perlu ada tambahan subsidi. Ini yang tidak dimengerti kepala daerahnya, sehingga tetap mau bangun PLTN," jelasnya.
Rinaldy mengaku, PLTN merupakan pilihan sumber energi terakhir tanpa harus ngotot mewujudkannya. Namun Batan Teknologi tetap diminta untuk mengembangkan dan menguasai teknologi nuklir, seperti teknologi fusi (matahari) atau thorium karena tidak menimbulkan radiasi.
"Dari dulu, Pak Boediono sudah bilang PLTN belum akan dibangun, tapi Indonesia akan mengembangkan teknologi nuklir untuk non energi, seperti persenjataan, dan lainnya," cetus Rinaldy. (Fik/Zul)