Liputan6.com, Jakarta - Utang pemerintah yang sudah menembus posisi Rp 3.089 triliun hingga Desember 2015 masih dalam batas aman. Pemerintah melakukan roadshow demi menjual surat utang.
Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan, Suahasil Nazara mengungkapkan, ‎pembiayaan atau utang dari dalam dan luar negeri dibutuhkan demi menambal defisit anggaran yang diupayakan tidak melebihi 3 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Baca Juga
Konsep pembiayaan utang ini telah mengalami perubahan dibanding masa orde baru yang hanya mengandalkan utang luar negeri pemerintah.
Advertisement
Â
Baca Juga
‎"Karena pengeluaran dipakai untuk pembangunan, tabungan pemerintah kurang sehingga perlu utang. Defisit dibiayai utang, tapi dari utang itu jadi jalan, jembatan, pelabuhan, bandara, pembangkit listrik. Manfaatnya bisa dirasakan di masa depan," jelasnya dalam Peluncuran Forum Ekonomi Indonesia di Gedung UI Salemba, Jakarta, Rabu (10/2/2016).
Diterangkan Suahasil, utang pemerintah perlu dikelola dengan baik, mengingat utang berasal dari masyarakat atau investor di dalam maupun luar negeri. Katanya, menawarkan atau melelang surat utang harus diiringi dengan jaminan dari pemerintah atas prospek Indonesia kepada investor atau penanam modal.
"Kita tawarkan surat utang dalam sebuah kertas, tapi sebenarnya yang dibeli investor adalah prospek ekonomi Indonesia. Kita bilang bahwa prospek Indonesia bagus, karena surat utang ini bisa menghasilkan dana segar yang bisa dipakai untuk biaya pembangunan," ucapnya.
Investor saat ini, diakui Suahasil ‎tersebar di berbagai negara, sehingga pemerintah harus menggelar roadshow demi menjual surat utang. "Yang menceritakan kondisi perekonomian kita harus lewat mulut Menteri Keuangan atau pembuat kebijakan. Tapi kita akan tetap menjaga supaya investor betah menanamkan modalnya di portofolio surat utang supaya tidak buru-buru dijual lagi," papar Suahasil.
‎Sebelumnya, Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan (DJPPR Kemenkeu) menegaskan bahwa utang pemerintah yang sudah menembus posisi Rp 3.089 triliun hingga Desember 2015 masih dalam batas aman. Pemerintah Indonesia menyanggupi mencicil pembayaran utang setiap tahunnya sekitar Rp 300 triliun.
Dirjen PPR Kemenkeu, Robert Pakpahan mengungkapkan, posisi outstanding utang pemerintah pada tahun lalu sebesar Rp 3.089 triliun merupakan yang tertinggi dalam kurun waktu 17 tahun terakhir. Penambahan utang dari periode 2014 yang sebesar Rp 2.608,8 triliun untuk membiayai defisit anggaran dari Rp 222,5 triliun menjadi Rp 318,5 triliun.
"Yang penting kan utang digunakan untuk produktif, beda dengan dulu yang konsumtif seperti belanja subsidi tapi sekarang sudah berkurang banyak. Saat ini banyak dipakai untuk belanja modal," kata Robert.
Dari data Kemenkeu, realisasi belanja modal mencapai Rp 213,3 triliun atau tumbuh sekitar 45 persen dibanding pencapaian 2014. Sementara total belanja kementerian/lembaga pada tahun lalu naik signifikan menjadi Rp 724,3 triliun dibanding Rp 577,2 triliun di periode 2014.
"Realisasi belanja modal Rp 213,3 triliun belum pernah ada selama ini," tegas Robert.
Lebih jauh dijelaskannya, posisi utang pemerintah Rp 3.089 triliun setara dengan rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 27 persen. Robert mengklaim, rasio tersebut masih sangat aman bagi Indonesia mengingat ambang batas toleransi sebesar 60 persen terhadap PDB, berdasarkan Undang-undang (UU) Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
Utang, diakuinya, sangat dibutuhkan negara-negara berkembang bahkan negara maju sekalipun, termasuk Indonesia. Asalkan rasio utang dan defisit anggaran tidak melanggar UU Keuangan Negara dan digunakan semaksimal mungkin untuk kegiatan produktif, seperti belanja modal.
"Dari sisi kapasitas, belum ada kekhawatiran, rasio utang sangat aman. Semua negara berkembang dan maju yang over infrastruktur pun masih berutang. Malah ada yang bilang harusnya kita utang lebih banyak sepanjang dipakai untuk hal produktif. Jadi ini bukan waktunya berhenti ngutang, asal ngutang langsung bangun-bangun ‎(proyek)," terang Robert.
Dari sisi kemampuan pembayaran, dirinya mengaku, Indonesia sangat mempunyai kesanggupan itu. Tercermin dari rata-rata jatuh tempo utang yang cukup panjang yaitu 9,7 tahun. Itu dinilai Robert sebagai jangka waktu aman. Robert menghitung jika total utang pemerintah Rp 3.089 triliun dibagi rata-rata jatuh tempo utang 10 tahun, maka kewajiban pembayaran utang Rp 300 triliun per tahun.
"Dengan pendapatan negara yang hampir mendekati Rp 2.000 triliun, maka nilai Rp 300 triliun itu bisa ditangani atau kita masih mampu bayar sekalipun kita berhenti ngutang," tandas Robert. (Fik/Zul)