Liputan6.com, Jakarta - Sejak kembali diwacanakan pada tahun lalu, proyek pembangunan kereta cepat banyak menimbulkan pro dan kontra. Saat ini, meskipun telah groudbreaking pada 21 januari 2016, kelanjutan proyek tersebut masih harus menunggu terbitnya izin konsesi dan izin pembangunan dari Kementerian Perhubungan (Kemenhub).
Direktur Transportasi Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Bappenas Bambang Prihartono mengatakan, ‎sebenarnya kereta cepat ini bukan proyek baru. Rencana pembangunan proyek ini telah ada sejak 2008, namun dengan rute Jakarta-Surabaya. Proyek tersebut digagas oleh Bappenas bersama dengan Kementerian Perhubungan (Kemenhub).
"Kereta cepat sudah disiapkan sejak 2008, tetapi rute Jakarta-Surabaya. Ini dirancang Bappenas dan Kemenhub. Tapi karena pertimbangan politis dan dana yang dibutuhkan besar, sementara pemerintah saat itu membutuhkan dana untuk kegiatan-kegiatan lain, jadi proyek belum diimplementasikan," ujarnya di Jakarta, Jumat (12/6/2016).
Baca Juga
Kemudian, lantaran untuk membangun kereta cepat Jakarta-Surabaya dibutuhkan dana yang sangat besar, maka Bappenas mengubah rute menjadi Jakarta-Bandung. Pemilihan dua kota tersebut pun tidak semata-mata soal dana. Dengan membangun rute Jakarta-Bandung, Bappenas menghitung akan terjadi peningkatan pendapatan per kapita yang signifikan masyarakat yang berada di sekitarn‎ya.
"Karena dananya besar kita bikin strategi bagaimana bikin secara cepat, dibangun bertahap, dipilih Jakarta-Bandung. Ini juga karena pertumbuhan ekonomi di koridor yang dilewati ini akan luar biasa. Pendapatan per kapita dalam 5 tahun bisa US$ 10 ribu," jelasnya.
Bambang mengungkapkan, melihat potensi pertumbuhan ekonomi tersebut, ‎pada 2012 wacana pembangunan kereta cepat tersebut kembali digulirkan. Saat ini muncul pola pembiayaan dengan skema kerjasama pemerintah-swasta (KPS). Namun saat ditawarkan ke pihak swasta, pemerintah tetapi dibebani dengan porsi pembiayaan yang lebih besar. Namun lagi-lagi proyek tersebut terhenti.
"Sehingga pada 2012, kita lakukan studi bagaimana bangun kereta cepat Jakarta-Bandung, pola kala itu KPS. Tapi waktu itu minta pemerintah diminta 70 persen dan swasta 30 persen. Itu tdak bisa. Kemudian diotak-atik muncul angka pemerintah 60 persen, sedangkan swasta 40 persen. Tetapi pemerintah yang lama belum ada political will, sehingga terkesan proyek ini tidak berlanjut," kata dia.
Akhirnya, pembangunan kereta cepat ini baru ter‎ealisasi pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Dengan semangat meningkatkan pertumbuhan ekonomi, maka pembangunan infrastruktur pendorong pun mendapat dukungan dari pemerintah, termasuk dengan beroperasinya kereta cepat.
"Kemudian di pemerintahan Pak Jokowi, political wiil-nya berbeda. Karena dalam RPJMN, kita ingin mencapai pertumbuhan 5 persen-6 persen, dan itu pasti hanya bisa didorong di Jawa, di daerah lain dengan infrastruktur yang terbatas paling 2 persen-3 persen. Kalau investasi di Jawa besar dampaknya kemana-mana. Silahkan di Papua tumbuh 2 persen-3 persen, tapi yang lain harus tinggi‎," ungkapnya.
Terealisasinya pembangunan kereta cepat ini juga sebenarnya berkat adanya minat dari Jepang dan China. Setelah melewati tahapan seleksi, akhirnya pemerintah memilih China untuk bekerjasama dengan BUMN membangun moda transportasi terebut. Pemilihan China juga bukan tanpa alasan. China dianggap berani membangun tanpa adanya bantuan dari pemerintah melalui APBN. Sedangkan Jepang meminta bantuan dana pemerintah dalam proses pembangunannya.
"Keuangan kita terbatas, dan visi Pak Presiden kita bangun dari luar. Makanya kita cari sumber pendanaan lain diluar. Perlu ada investasi lain seperti dari BUMN dan swasta. Kemudian ada swasta yang tertarik pada pembangunan ini, ini sehingga melihat adanya peluang. Sepanjang tidak menggunakan APBN yang diprioritaskan untuk ulau luar untuk tujuan mendorong pertumbuhan ekonomi," tandas dia. (Dny/Gdn)