Liputan6.com, Jakarta - Ada sedikit harapan akan kenaikan harga minyak mentah. Harapan tersebut datang setelah adanya kesepakatan yang dilakukan oleh tiga negara produsen minyak terbesar yaitu Arab Saudi, Rusia, dan Venezuela.
Ketiga negara yang selama ini selalu jor-joran dalam memproduksi minyak mentah akhirnya bersepakat untuk mengontrol produksinya. Arab Saudi, Rusia dan Venezuela menyepakati untuk mengurangi produksi minyak atau setidaknya tidak akan meningkatkan produksi di tahun ini jika dibandingkan dengan tahun lalu.
"Mereka bertiga sepakat untuk menjaga produksi, tidak nambah lagi," kata Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said, di Kantor Kementerian ESDM, Jakarta, Jumat (19/2/2016).
Kesepakatan tersebut tentu saja berdampak positif terhadap harga minyak dunia. Dengan kesepakatan tersebut harga minyak dunia akan bangkit dari saat ini yang berada di kisaran US$ 30 per barel.
Namun memang, kenaikan harga minyak tidak akan terlalu tinggi atau mencapai titik puncak seperti yang terjadi pada pertengahan 2014 lalu. Pada kisaran Juni 2014, harga minyak di atas level US$ 100 per barel. Bahkan beberapa bulan sebelumnya harga minyak sempat menyentuh US$ 110 per barel.
"Saya membayangkan mungkin setahun ke depan, akan ada rebound meskipun tidak akan terlalu tinggi. Banyak prediksi tahun 2017 ketika mereka sudah capek berantem, banting-membanting, mungkin akan ketemu keseimbangan," terang Sudirman.
Alasan bersepakat
Para produsen minyak memang harus bersepakat. Alasannya, jika produksi tidak dikontrol, maka banjir minyak terus akan terjadi di tahun ini. Akibatnya, harga minyak akan terus tertekan.
Dalam laporan berjudul "Lower for Even Longer" yang dibuat pada Jumat 11 September 2015 lalu, Goldman Sachs memangkas proyeksi harga minyak menjadi rata-rata US$ 45 per barel pada 2016 dari sebelumnya US$ 57 per barel. Bahkan, lembaga keuangan tersebut menyebutkan bahwa ada potensi harga minyak dapat menyentuh level US$ 20 per barel.
Tentu saja, rendahnya harga minyak tersebut sangat berdampak kepada negara-negara yang selama ini menggantungkan diri kepada penjualan minyak. Salah satu contohnya adalah Venezuela, yang merupakan salah satu negara yang membuat kesepakatan kontrol produksi.
Sebagai negara sumber minyak, Venezuela selama ini mematok harga bahan bakar minyak (BBM) di level rendah. Namun dengan harga minyak yang terus berada di level bawah ini hal tersebut tak bisa lagi dilakukan. Venezuela harus menaikkan harga BBM untuk mencari tambahan pendapatan bagi negara karena pendapatan dari ekspor terus berkurang.
Presiden Venezuela Nicolas Maduro memutuskan untuk menaikkan harga BBM hingga 6.000 persen. Ini adalah kenaikan harga BBM untuk pertama kali dalam 20 tahun terakhir.
Keputusan ini diambil karena anjloknya harga minyak telah memukul ekonomi negara tersebut. Pasalnya, 95 persen pendapatan negara tersebut ditopang dari minyak.
Harga BBM beroktan 95 atau setara Pertamax Plus di Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) melompat hingga 6.086 persen menjadi 6 bolivar atau setara Rp 12.755 per liter (kurs Rp 2.125 per bolivar) dari sebelumnya 0,097 bolivar atau setara Rp 206 per liter. Sementara BBM beroktan 91 naik 1.300 persen.
Tak hanya menaikkan harga BBM, pemerintah Venezuela juga melakukan devaluasi mata uang dari 10 bolivar per dolar AS menjadi 6,3 bolivar per dolar AS. Langkah ini diharapkan bisa menekan biaya impor untuk makanan dan obat-obatan.
"Ini adalah keputusan penting yang perlu dilakukan sebagai penyeimbang. Saya bertanggung jawab pada keputusan ini," kata Maduro dalam pidatonya yang disiarkan televisi lokal.
Oleh karena itu, agar keuangan Venezuela tak semakin berantakan, negara tersebut memilih untuk membuat kesepakatan dengan negara produsen minyak lainnya.
Dampak ke Indonesia
Kesepakatan ketiga negara tersebut tentu saja memberikan dampak positif kepada Indonesia. Alasannya, Indonesia juga salah satu negara pengekspor minyak.
Menteri Keuangan (Menkeu) Bambang Brodjonegoro mengungkapkan, harga minyak dunia terus tertekan karena saat ini bergerak di kisaran US$ 30-35 barel sehingga pemerintah perlu menyodorkan asumsi baru untuk harga minyak.
"Jadi perkiraan rata-rata per tahun US$ 30-40 per barel (asumsi ICP APBN-P 2016). Sementara target di APBN 2016 sebesar US$ 50 per barel," ujar dia.
Dengan penurunan asumsi ini, kata Bambang, berpengaruh pada penerimaan negara dari Pajak Penghasilan (PPh) Migas dan anjloknya Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) royalti tambang karena harga komoditas yang rendah. Kondisi tersebut akan membuat struktur penerimaan berubah.
"Yang paling kritis adalah harga minyak untuk dimasukkan dalam APBN-P 2016. Jadi membuat penurunan dari penerimaan PNBP dan PPh Migas, karena kalau harga minyak jatuh, dampaknya ke harga komoditas turun," jelasnya.
Bambang memperkirakan, penerimaan negara anjlok sampai Rp 90 triliun dengan asumsi penurunan ICP dari US$ 50 menjadi US$ 30 per barel. Proyeksi tersebut juga mempertimbangkan penurunan produksi (lifting) minyak. (Gdn/Nrm)
Harapan Harga Minyak Kembali Naik
Sebagai negara sumber minyak, Venezuela selama ini mematok harga bahan bakar minyak (BBM) di level rendah.
Advertisement