Liputan6.com, Jakarta - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) kembali menguat pada perdagangan di awal pekan ini. Penguatan rupiah terjadi karena kepercayaan investor kepada pertumbuhan ekonomi nasional.
Mengutip Bloomberg, Senin (22/2/2016), rupiah dibuka di level 13.479 per dolar AS, menguat jika dibandingkan dengan penutupan pada perdagangan sebelumnya yang ada di level 13.508 per dolar AS.
Penguatan rupiah terus berlanjut. Pada pukul 12.00 WIB, rupiah berada di level 12.443 per dolar AS. Sejak awal tahun, rupiah telah menguat 2,54 persen.
Sedangkan berdasarkan Kurs Referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) Bank Indonesia mematok rupiah di angka 13.460 per dolar AS, menguat jika dibandingkan dengan perdagangan sebelumnya yang ada di level 13.549 per dolar AS.
Baca Juga
Penguatan rupiah ini terjadi setelah Bank Indonesia (BI) menurunkan suku bunga acuan untuk kedua kalinya secara berturut-turut. Penurunan suku bunga acuan atau BI Rate tersebut memberikan dampak positif kepada ekonomi nasional.
Australia & New Zealand Banking Group Ltd., ING Groep NV, Capital Economics Ltd, dan Nomura Holdings Inc memperkirakan bahwa ruang penurunan BI Rate masih terbuka lebar ke depannya.
"Selama inflasi terkendali, ada potensi bagi suku bunga acuan untuk kembali turun," jelas head of balance-sheet trading at PT Bank ANZ Indonesia Wiling Bolung.
Semua pihak seperti Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan dan juga pemerintah saat ini harus berusaha keras untuk mendorong kebijakan yang memberikan ruang kepada pertumbuhan ekonomi.
Bank Indonesia sendiri mulai lebih optimistis memandang pertumbuhan ekonomi Indonesia di 2016. Hal itu dibuktikan dengan kembali direvisinya target atau perkiraan pertumbuhan ekonomi menjadi lebih tinggi.
Deputi Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo mengungkapkan, BI sebelumnya memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia sepanjang 2016 sebesar 5,3 persen, kini lebih optimistis menjadi di 5,4 persen.
DijelaskanPerry, meningkatnya optimisme BI terhadap pertumbuhan ekonomi RI ini dikarenakan berbagai faktor fundamental yang semakin baik dan gejolak ekonomi global yang mulai mereda. (Gdn/Ndw)