Sukses

Isu Tenaga Kerja Honorer Ganggu Agenda Reformasi Aparatur Negara

Belanja pegawai saat ini sudah sangat besar, sehingga sulit negara sulit mengalokasikan anggaran untuk pengangkatan tenaga honorer K2.

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Pendagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) Yuddy Chrisnandi telah menetapkan 3 sasaran pembangunan nasional bidang aparatur negara. Pertama, birokrasi yang bersih dan akuntabel. Kedua, birokrasi yang yang efektif dan efisien. Ketiga, birokrasi yang memiliki pelayanan publik yang berkualitas.

Ketiga sasaran tersebut dicanangkan untuk mewujudkan World Class Government pada 2025 sebagaimana yang ditetapkan dalam Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2015. Selain itu, adanya fakta bahwa saat ini kompetisi antar negara semakin terbuka, dan merupakan suatu keniscayaan. Terlebih, tahun ini telah memasuki Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA).

Namun Yuddy mengaku prihatin, karena rencana yang baik itu, belakangan sering terganggu dengan isu-isu pengangkatan tenaga honorer kategori 2. Pasalnya, di satu sisi ada keinginan untuk menyelesaikan masalah tersebut, tetapi di pihak lain tidak dimungkinkan oleh ketentuan Undang-Undang No. 5/2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN).

Selain itu, belanja pegawai saat ini sudah sangat besar, sehingga sulit negara sulit mengalokasikan anggaran untuk pengangkatan tenaga honorer K2.

Tak urung, isu pengangkatan honorer K2 itu pun akhirnya mendominasi pembicaraan dalam acara temu Menteri Yuddy dengan para menteri PANRB sebelumnya. Menteri sebelumnya, secara umum mendukung kebijakan Menteri Yuddy dalam percepatan reformasi birokrasi, serta penanganan tenaga honorer kategori 2.

Freddy Numberi misalnya, mengatakan agar pemerintah pusat tegas. Sebab selama ini, kecenderungan pengangkatan tenaga honorer dilakukan oleh pemerintah daerah. “Namun kemudian masalah tenaga honorer dibebankan ke pemerintah pusat,” ujarnya.

Berdasarkan pengamatannya, banyak kepala daerah mengangkat tenaga honorer yang merupakan anggota keluarga atau anggota tim suksesnya pada saat kampanye pilkada. "Ini juga harus dibuka ke DPR, agar anggota DPR tahu rekruitmen yang dilakukan pemerintah daerah membuat kesulitan karena tidak mengikuti pola pemerintah pusat.,” ujarnya dalam keterangannya, Rabu (24/2/2016).

Putra Papua ini juga menyarankan agar pemerintah membuka ruang bagi pemeraintah daerah utuk pengangkatan tenaga guru dan dokter sebagai pegawai kontrak,yang dibiayai dari APBD masing-masing daerah.

Hal senada diungkapkan Azwar Abubakar, yang semasa menjabat sebagai Menteri PANRB banyak berhubungan dengan urusan tenaga honorer, baik kategori 1 maupun kategori 2. Baginya, keberadaan honorer K2 itu sudah selesai setelah dilakukannya tes pada tahun 2013 silam.

Menurut Azwar, sesuai kesepakatan dengan Komisi II DPR, pemerintah hanya akan mengangkat sekitar 30 persen dari sekitar 600 ribu peserta tes, dan harus lulus tes. Kesepakatan itu, menurut Azwar, juga sudah dipahami oleh tenaga honorer kategori dua, khususnya para pegurus Forum Honorer Kategori 2.

Azwar juga sependapat dengan Freddy yang mengatakan agar pemerintah pusat tidak harus menerima tindakan yang dilakukan oleh pejabat daerah, yang telah melakukan rekrutmen terhadap tenaga honorer. “Honorer ini kan kesalahan dari pejabat daerah, yang dilimpahkan ke pusat,” ujarnya.

Sementara Taufiq Effendi menilai, salah satu persoalan yang dihadapi Kementerian PANRB karena Kemenetrian ini tidak memiliki orang di daerah. Meskipun punya kebijakan, tetapi dipastikan bahwa seluruh pegawai di daerah hanya akan melaksanakan perintah kepala daerahnya.

Menurutnya, hal itu juga menimpa kasus pengangkatan tenaga honorer. Meskipun dalam PP No. 48/2005 pemerintah sudah melarang kepala daerah mengangkat pegawai honorer, tapi mereka tetap melakukannya. “Kita harus punya orang di daerah, tetapi bukan pegawai daerah,” tuturnya.

Dua menteri terdahulu, yakni JB Sumarlin dan Hartarto cukup terperanjat dengan berkembangnya isu pegawai honorer. Sebab ketika keduanya menjadi Menteri PAN, hal tersebut belum mengemuka, dan tidak menjadi isu seperti belakangan ini, dan tidak sedikit yang telah menyeretnya ke ranah politik.

Sumarlin dan Hartarto menambahkan, perlu dicari tahu bagaimana asal-usul munculnya pegawai honorer di daerah itu sendiri. “Kalau memang pemerintah sudah melakukan hal yang benar, dan sesuai dengan peraturan perundangan, menurutnya, pemerintah tidak selalu harus mengikuti kehendak DPR,” tutur Hartarto. (Yas/Gdn)