Liputan6.com, Jakarta - Rancangan Undang-Undang (RUU) Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) akhirnya disahkan menjadi undang-undang (UU) oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI dalam Rapat Paripurna DPR ke-19 pada Selasa, 23 Februari 2016.
Dengan disahkannya UU ini, setiap pekerja baik karyawan swasta dan pegawai negeri sipil (PNS) diwajibkan membayar iuran Tapera sebesar 3 persen dari total upah yang diterimanya.
"Sekitar 2,5 persen dipotong dari gaji karyawan dan 0,5 pemberi kerja, tapi itu maksimal," tutur Direktur Jenderal Penyediaan Perumahan, Syarif Burhanuddin, saat berbincang dengan Liputan6.com.
Pembayaran iuran tersebut nantinya akan diatur dalam peraturan pemerintah. Rencananya pemotongan gaji ini akan efektif diberlakukan paling lambat 2 tahun setelah UU disahkan.
"Itu (pemotongan) tidak ada di dalam UU. Pemerintah akan segera menerbitkan PP dan kemudian dibentuk Badan Pengelola Tapera. Jadi paling lambat Februari 2018 diterapkan," katanya.
Syarif menjelaskan, uang yang disetorkan pegawai nantinya akan dikelola Badan Pengelola Tapera.
Rencananya, uang iuran itu akan digunakan membangun perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) dan belum memiliki rumah.
"Sementara bagi masyarakat non MBR dan yang sudah punya rumah ketika pensiun uang yang disetorkan akan dibayarkan kembali dengan jumlah sesuai setoran ditambah bunga. Jadi tidak ada yang dirugikan, seperti simpan uang," katanya.
180 juta pekerja
Advertisement
Kehadiran UU Tapera mewajibkan 180,3 juta pekerja swasta maupun PNS menjadi peserta. Sementara dari iuran 3 persen yang akan dibayarkan perusahaan dan pekerja, Badan Pengelola Tapera mampu menghimpun dana Tapera hingga Rp 113 triliun per tahun.
Wakil Ketua Umum DPP Realestate Indonesia (REI), Ignesjz Kemalawarta mengungkapkan, Tapera merupakan salah satu instrumen pembiayaan yang dapat digunakan pemerintah membantu MBR memiliki rumah layak huni dengan harga terjangkau.
"Tapera bukan hanya dikenakan kepada pekerja, tapi juga dipungut ke pemberi kerja, misalnya PNS oleh pemerintah, TNI, Polri, anggota DPR/DPRD oleh negar, pekerja oleh perusahaannya," ujarnya dalam Forum Group Discussion UU Tapera di Gedung DPD RI, Jakarta.
Dengan adanya UU Tapera, lanjut Ignesjz, semua anggota masyarakat yang sudah bekerja diwajibkan menjadi peserta Tapera dengan membayar iuran atau tabungan setiap bulan.
Dana peserta akan dikelola Badan Pengelola Tapera untuk mewujudkan program bagi golongan MBR. Dengan cara ini, seluruh rakyat Indonesia dapat mempunyai rumah layak huni dari yang selama ini tidak menikmati akses KPR.
"Potensi nilai dana Tapera sangat besar, sehingga perlu diamanatkan aspek tata kelola perusahaan pengelolaan dana Tapera termasuk sanksi perdata maupun pidana agar dapat dikelola bertindak secara profesional, transparan dan akuntabel," jelas Ignesjz.
Berikut asumsi dan simulasi perhitungan Tapera untuk pekerja berdasarkan perhitungan DPP REI:
Jumlah penduduk yang bekerja 180,3 juta jiwa
Pendapatan per kapita : Rp 41,8 juta jiwa per tahun
Asumsi pendapatan tetap atau non tetap : 30 persen / 70 persen
Asumsi jumlah yang menabung : 50 persen x 180,3 juta yakni sebanyak 90,15 juta jiwa
"Jumlah Tapera setiap tahunnya diperkirakan mencapai Rp 113,048 triliun. Perhitungan ini berdasarkan perhitungan 90,15 jutaa jiwa dikalikan Rp 41,8 juta lalu dikali lagi dengan 3 persen. Jadi Rp 113 triliun," terang Ignesjz.
Dari besaran dana Tapera tersebut;
- Sebesar 2,5 persen berasal dari pekerja senilai Rp 94,21 triliun
- Sebesar 0,5 persen berasal dari pemberi kerja senilai Rp 18,84 triliun
Jika diasumsikan pendapatan tetap 30 persen, maka Tapera yang berasal dari pekerja sebesar Rp 33,91 triliun. Perhitungan ini berasal dari 30 persen dikalikan Rp 113,05 triliun.
Buruh girang ada UU Tapera
Buruh yang tergabung dalam Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menyambut baik keputusan DPR RI atas pengesahan UU Tapera. Alasannya, buruh tidak mampu membeli rumah selama bertahun-tahun bekerja dengan upah minim.
Presiden KSPI Said Iqbal mengaku sangat mendukung RUU Tapera untuk disahkan menjadi UU sejak awal pembahasan. Ia mengatakan, tabungan perumahan ini akan sangat membantu buruh membeli hunian layak.
"Buruh bekerja 30 tahun tidak punya rumah karena kebutuhan papan atau rumah sudah menjadi barang mewah. Padahal rumah adalah kebutuhan paling hakiki," ujarnya saat dihubungi Liputan6.com.
Said mengatakan, daya beli buruh untuk membeli rumah sudah tergerus mengingat harga rumah dan persyaratan mendapatkannya cukup sulit, terutama bagi pekerja yang bergaji rendah dengan upah minimum.
"Daya beli buruh tidak kuat lagi. Rumah tipe 27 dijual seharga Rp 120 juta per unit, DP-nya 30 persen atau Rp 36 juta. Cicilan rumah jangka waktu 10 tahun sebesar Rp 1,2 juta-Rp 1,5 juta per bulan. Jadi ini sangat tidak mungkin buat buruh yang gajinya cuma Rp 3,1 juta di DKI Jakarta," terang Said.
Dirinya menuturkan, buruh mendukung UU Tapera asalkan dengan tiga syarat. Pertama, sambungnya, nilai jual rumah terjangkau oleh buruh dan bersih. Syarat kedua, sepanjang iuran yang dibebankan kepada buruh tidak memberatkan.
"Dan ketiga, setiap buruh penerima UMP harus punya kemampuan dan akses untuk mendapatkan perumahan tadi. Jadi jangan cuma yang gajinya Rp 4 juta ke atas saja yang bisa beli rumah," jelas Said.
Pengusaha menolak
Sejumlah pengusaha keberatan dengan disahkannya UU Tapera. Salah satunya Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) akan mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Ketua Umum Apindo, Haryadi Sukamdani, menyatakan para pengusaha sangat keberatan dengan adanya UU ini. Salah satu alasannya, UU tersebut dianggap mubazir karena sebelumnya telah ada program kepemilikan perumahan sejenis bagi pekerja dalam BPJS Ketenagakerjaan.
"Yang jelas kita keberatan karena UU itu duplikasi. Kita anggap duplikasi karena itu sudah ada di BPJS Ketenagakerjaan. Kita akan mengajukan uji materi ke MK," ujarnya saat berbincang dengan Liputan6.com.
Selain itu, Ketua Umum Kadin Indonesia, Rosan Roeslani, menyayangkan keputusan UU Tapera di saat ekonomi Indonesia sedang sulit seperti sekarang ini. Pengusaha, katanya, dituntut untuk menciptakan lapangan kerja. Namun di sisi lain, pemerintah justru memberatkan pelaku usaha dengan kebijakan yang tidak pro dunia usaha.
"Ya, membebani-lah. Kebijakan itu kan harusnya mendorong pertumbuhan lebih besar, menciptakan lapangan kerja bukan sebaliknya. Jadi kita agak kecewa," ia mengeluh.
Wapres JK Heran
Wakil Presiden Jusuf Kalla geram mengetahui kalangan pengusaha kurang menyambut baik disahkannya UU Tapera. Menurut JK, sudah sepantasnya pekerja dapat jaminan untuk mendapat rumah.
"Lah pengusaha masak menolak dia punya pekerja dapat rumah, ya bagaimana pula. Nanti supaya bekerja lebih tenang, kan," kata JK, di Kantor Wakil Presiden, Jakarta.
JK menjelaskan pengusaha harus lebih mengayomi pekerjanya. Kepastian mendapat rumah pun dapat membuat pekerja lebih produktif karena sudah lebih tenang, tidak perlu memikirkan untuk mencari rumah.
"Kalau tidak ada rumah kontrak-kontrak melulu, bagaimana bisa tenang-tenang kerja. Kalau sudah ada undang-undangnya, enggak ada urusannya. Pekerja harus ikut saja (soal iuran 3 persen)," kata JK.
Mantan Ketua Umum Golkar itu juga menjelaskan UU Tapera tidak tumpang tindih dengan BPJS Ketenagakerjaan. Walau terlihat sama, tapi ada beda fungsi.
"Ya tentu juga di situ BPJS membikin perumahan, tapi ini kan bagaimana soal tabungannya," ucap JK.
Cacat formal
Tak hanya pengusaha, pengesahan UU Tapera juga menuai kritikan dari Ketua DPD Irman Gusman. Dia mengungkapkan, pengesahan RUU Tapera menjadi UU dilalui tanpa melakukan pendalaman sehingga ujuk-ujuk UU tersebut diketok dalam Sidang Paripurna, kemarin (23/2/2016).
Padahal pembahasan UU harus melalui mekanisme tripatrit, terdiri dari pemerintah, DPR dan DPD.
"DPD merasa tidak dilibatkan, UU sudah hadir saja jadi ini tidak melewati mekanisme tripatrit. Sehingga berpotensi cacat formal, karena belum 24 jam UU disahkan, stakeholder termasuk kami mempertanyakan UU tersebut," tegas Irman.
Keluhan lainnya, kata Irman, mengenai isi atau substansi UU Tapera yang masih harus pendalaman. Tentunya dengan melibatkan pengusaha, dan masyarakat sehingga mengindikasikan produk hukum tersebut hanya berpihak pada kelompok atau sektor tertentu.
"Kesannya buru-buru sekali UU ini keluar karena substansi UU ini hanya menyangkut pengelolaan uang tabungan, bukan pengadaan rumahnya. Esensi ini berbeda dengan tujuan dari UU Tapera. Jadi kita ingin mengajukan ke pimpinan DPR untuk dibahas lagi," jelasnya.
Menurut Irman, perumahan rakyat merupakan suatu keniscayaan dan kewajiban bagi negara untuk melaksanakannya. Negara harus berperan dalam tabungan perumahan rakyat, supaya kekurangan rumah (backlog) cepat teratasi.
"Kita tidak mau Indonesia hanya bertumbuh secara makro, Produk Domestik Bruto (PDB) bisa naik sampai US$ 6 triliun dengan pendapatan per kapita US$ 20 ribu di 2045, tapi kita mau pertumbuhan ekonomi bisa dinikmati merata di seluruh Indonesia. Termasuk menyediakan perumahan rakyat, khususnya masyarakat berpenghasilan rendah," terangnya.
Dalam kesempatan yang sama, Ketua Komite II DPD RI, Parlindungan Purba menganggap lahirnya UU Tapera merupakan UU tercepat di Indonesia. Alasannya tidak sampai 2 bulan pembahasan, Rancangan UU Tapera disahkan menjadi UU.
"Saya tidak tahu kenapa hanya dua bulan pembahasan, UU ini sudah keluar. Ini rasanya UU paling cepat keluar jadi ada peluang cacat formal," paparnya.
Ia mengaku, telah mendapatkan pendapat dari masyarakat dan pengusaha, di mana beberapa diantaranya meminta pengajuan judical review atas terbitnya UU Tapera. "Tapi ini kan masalah perorangan. Kita mau bahas dulu, karena ini bukan bagaimana mencari duitnya tapi pengadaan rumah untuk MBR," tandas Parlin. (Ndw/Ahm)