Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah diminta segera mengeluarkan aturan yang memayungi keterbukaan informasi perbankan untuk kepentingan perpajakan. Selama ini petugas pajak kesulitan melakukan pemeriksaan terhadap wajib pajak lantaran tidak diberikan akses untuk melihat data wajib pajak tersebut di sistem perbankan.
Pengamat Pajak Universitas Indonesia (UI) Darussalam mengatakan, keterbukaan akses data perbankan bagi petugas pajak telah dilakukan di 37 negara. Hal ini terbukti sukses mendorong para wajib pajak yang juga nasabah perbankan untuk taat membayarkan pajaknya.
"Ada satu hal yang penting sebagai tool yang untuk menguji kepatuhan wajib pajak. Research di 37 negara, memaparkan bagaimana peran informasi perbankan dalam mendorong masyarakat melaksanakan kewajiban pajak," ujarnya di Bali, Jumat (26/2/2016).
Baca Juga
Di 37 negara tersebut, pemerintah tetap mengatur soal kerahasiaan data perbankan. Namun akses untuk petugas pajak dibuka selebar-lebarnya demi kepentingan penerimaan negara.
"Jadi alat uji yang harus dipunyai adalah masalah kewenangan mendapatkan informasi perbankan untuk tujuan perpajakan. Di Indonesia, kita masih berat soal itu. Dari 37 negara itu memang ada sistem yang mengatur kerahasiaan perbankan. Tetapi untuk urusan pajak diberikan kewenangan pada petugas perpajakan untuk mengakses dengan prosedur-prosedur tertentu," jelasnya.
Bahkan dari 37 negara tersebut, perbankan di 30 negara diantaranya telah memiliki kesadaran untuk secara rutin dana para nasabah kepada lembaga perpajakan. Dengan demikian, petugas pajak tidak kesulitan jika hendak melakukan pemeriksaan.
"Dari 37 negara, 30 negara sudah mengadopsi bukan lagi berdasarkan permintaan tapi automatically. Jadi dalam 1 tahun perbankan melaporkan data keuangan untuk kepentingan perpajakan tersebut. Bahkan di ‎7 negara memperbolehkan petugas pajak untuk mengakses save depositf box, seperti di Argentina. Ini dengan penggalian potensi pajak sm.‎ Kita harapkan di RUU KUP soal pemberian data perbankan di otoritas pajak ini," tandas dia. (Dny/Gdn)