Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman menyatakan lapangan gas abadi Masela memiliki kandungan gas yang cukup besar, dan berada di perbatasan dengan Australia. Dengan dibangun pengolahan di darat (onshore) dinilai dapat menjadi salah satu cara mempertahankan kedaulatan negara ini.
"Masela itu di perbatasan Australia dengan Indonesia. Tepatnya di Maluku," ujar Tenaga Ahli bidang Energi Kemenko bidang Kemaritiman Haposan Napitupulu di Jakarta, Jumat (11/3/2016).
Berdasarkan kajian Kemenko Maritim dan Sumber Daya sebelumnya, biaya pembangunan kilang darat sekitar US$ 16 miliar. Sedangkan jika dibangun kilang apung di laut (offshore), nilai investasinya lebih mahal mencapai US$ 22 miliar. Dengan demikian, kilang di darat lebih murah US$ 6 miliar dibandingkan dengan kilang di laut.
Advertisement
Angka ini sangat berbeda dengan perkiraan biaya dari Inpex dan Shell. Keduanya kompak menyatakan, pembangunan kilang offshore hanya menelan dana US$ 14,8 miliar. Sedangkan pembangunan kilang di darat, mencapai US$ 19,3 miliar.
Haposan juga menegaskan pengelolaan gas Blok Masela di Maluku tidak bisa disamakan dengan pengolahan gas yang dilakukan Petronas di Malaysia maupun lapangan gas Prelude di Australia.
Dia menjelaskan, Petronas membangun fasilitas pengolahan gas cair (Liquid Natural Gas/LNG) di tengah laut (FLNG) karena kandungan gas lapangan yang dikelola lebih kecil ketimbang Masela.
Baca Juga
"Petronas katanya membangun FLNG. Ya betul Petronas membangun FLNG dengan justifikasi bahwa lapangan yang dibangun Petronas itu adalah kecil dan tidak termanfaatkan selama ini," dia menjelaskan.
Menurut dia, dengan kandungan gas yang kecil jika fasilitas pengolahan gas dibangun di darat (onshore) tidak berguna kalau kandungannya habis. Sebab itu dipilih FLNG, yang bisa dipindah ke lapangan gas lain yang masih memiliki kandungan gas.
"Karena kalau dialirkan ke darat, lapangan itu kecil dan diproyeksikan cuma 3-5 tahun. Dan kalau bangun pipa ke darat yang jauh, cuma 3-5 tahun terlalu mubazir. Jadi dibangun pakai kapal, sehinga jika migasnya sudah habis pindah lagi ke lapangan yang kecil-kecil. Jadi begitu," jelas dia.
Sementara untuk lapangan gas Prelude di Australia, terbentur dengan lahan yang menjadi cagar budaya nenek moyang Australia suku Aborigin. Karena itu dipilih pengolahan gas di tengah laut.
"Kemudian juga mengalami kesulitan ketika membangun di darat, seperti di Australia kalau dibawa ke darat itu, dia Prelude itu heritage-nya orang Aborigin. Jadi enggak bisa dibangun di situ," tutur Haposan.
Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said sebelumnya menegaskan keputusan pembangunan infrastruktur gas Blok Masela, Maluku, berada di tangan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Sudirman berharap Presiden Jokowi Segera memutuskannya.
Sudirman mengaku, selama ini dirinya mendapat banyak pertanyaan tentang keputusan pembangunan fasilitas pengolahan gas di blok gas abadi tersebut. Namun, ia tetap menunggu keputusan dari Presiden Jokowi untuk menentukan pembangunan infrastruktur tersebut.
"Tapi tentu juga ada yang bertanya.Jawabannya sama dimanapun saya mengatakan. Bapak presiden sudah menyampaikan rangkaiannya," kataSudirman. (Pew/Nrm)