Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sepakat untuk tidak memakai sistem bail out atau penyuntikan dana segar dari luar alias dari negara untuk menyelamatkan bank berdampak sistemik. Pemerintah dan DPR memutuskan untuk menggunakan sistem bail in atau memaksimalkan modal bank untuk menyelamatkan bank sistemik.
Kepala Eksekutif Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Fauzi Ichsan mengatakan, mekanisme bail in berarti meningkatkan modal pada bank sistemik. Nantinya, penambahan modal tersebut bisa melalui surat utang yang dikonversi saham.
"Ini semua ada dijurisdiksi Otoritas Jasa Keuangan (OJK)," kata dia usai membahas Rancangan Undang-undang (RUU) Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK) di Jakarta, Jumat (11/3/2016).
Baca Juga
Fauzi mengatakan, jika OJK tak mampu menyelamatkan bank tersebut maka akan dilimpahkan ke LPS. LPS dalam hal ini akan memanfaatkan dana yang berasal dari pengumpulan premi dari perbankan.
Saat ini, dana yang dikumpulkan LPS dari pungutan premi mencapai Rp 67 triliun. "Jika tidak bisa diselamatkan OJK maka bank itu akan dilimpahkan ke LPS," ujarnya.
Namun, jika dana dari LPS dirasa tidak cukup maka lembaga tersebut akan mengambil opsi lain antara lain mewacanakan penerbitan surat utang. Meski begitu, dia bilang penerbitan surat utang idealnya dilakukan ketika kondisi sedang normal.
"Tapi prosesnya masih lama. Harus ada kebutuhan dana. Peringkat risiko harus dirating oleh lembaga pemeringkat. Untuk sementara ini bisa meminjam dan melalui pasar surat utang. Idealnya dilakukan saat normal, tapi saat normal biasanya kebutuhan dana tidak besar," katanya.
Sekarang ini, dia menuturkan kondisi perbankan masih baik. Hal tersebut tercermin dari rasio kecukupan modal atau capital adequacy ratio (CAR) pada angka 20-21 persen.
‎"Saat ini dana kami sekitar Rp 67 triliun. Untuk sementara ini bisa dibilang CAR Indonesia tinggi 20-21 persen, sehingga belum ada risiko bank sistemik yang gagal. Masih jauh," tukas dia. (Amd/Gdn)