Liputan6.com, Jakarta - Kenaikan iuran BPJS Kesehatan yang mulai berlaku pada 1 April 2016 mendapat penolakan dari buruh. Kenaikan ini dianggap tidak sesuai dengan layanan yang didapatkan peserta BPJS Kesehatan saat melakukan pengobatan di rumah sakit yang ditunjuk lembaga tersebut.
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal mengatakan, kenaikan iuran tersebut belum layak dilakukan. Alasannya, sejauh ini pelaksanaan program BPJS Kesehatan masih menemui sejumlah masalah.
Said mencontohkan, masih ada peserta BPJS Kesehatan yang mendapatkan penolakan saat akan berobat ke rumah sakit. Padahal, dengan adanya iuran seharusnya peserta mendapatkan pelayanan yang baik sesuai dengan harapan.
"Selain itu pelayanan BPJS Kesehatan belum optimal seperti masih ada orang sakit ditolak rumah sakit, antrian panjang, pemberian obat terbatas yang mengakibatkan buruh menambah biaya obat. Selain itu, provider rumah sakit dan klinik swasta yang terbatas. Jadi belum layak iuran BPJS dinaikkan," ujar dia di Jakarta, Sabtu (12/3/2016).
Baca Juga
Menurut dia, masih buruknya layanan yang diterima oleh para peserta BPJS Kesehatan lantaran adanya sistem INA CBG's. Selain itu, adanya Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 46 Tahun 2013 tentang Registrasi Tenaga Kesehatan membuat layanan yang diberikan tidak maksimal.
"Di samping itu buruh masih menuntut agar sistem INA CBG's dan Permenkes Nomor 46/2013 terkait sistem tarif harus dicabut. Karena, inilah pokok pangkal RS dan klinik swasta tidak melayani peserta BPJS dan pelayanan RS pemerintah amburadul," dia menjelaskan.
Selain itu, kata Said, pihaknya juga menolak kenaikan iuran peserta mandiri. Sebagai contoh, untuk kelas III dari Rp 25.500 menjadi Rp 30.000. Kenaikan ini dinilai hanya untuk menutupi defisit anggaran BPJS Kesehatan.
"Yang seharusnya dilakukan pemerintah dengan adanya defisit anggaran BPJS per tahun Rp 5 triliun adalah dengan menaikan anggaran PBI (penerima bantuan iuran) menjadi Rp 30 triliun per tahun," tandas dia. (Dny/Nrm)