Liputan6.com, Jakarta - Perusahaan furnitur yakni Sun Alliance menyatakan jika sertifikasi kayu melalui Sertifikasi Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) memberikan keuntungan bagi pengusaha. Dengan ketentuan tersebut justru membuka pasar potensial tujuan ekspor.
Managing Director Sun Alliance Maria Murliantini mengatakan, dengan SVLK membuka pasar ekspor Amerika Serikat (AS) yang dia idam-idamkan. Bahkan, dengan SVLK menyelamatkan dari biaya uji tuntas (due diligence) yang terhitung sangat mahal.
"‎Kalau tidak punya setifikasi SVLK mungkin masuk sana masuk due diligence‎ sangat mahal. Saya dengar US$ 2.000 per kontainer dengn proses 2-3 minggu di pelabuhan. Itupun kalau lolos pershipment tapi menjadi member SVLK tahun 2013 mendapatkan buyer sangat besar,‎" kata dia Jakarta, Minggu (13/3/2016).
Baca Juga
Legalitas kayu menjadi perhatian utama konsumen luar negeri saat ini. Dia bilang, dengan SVLK membuat produk-produknya lebih dilirik oleh konsumen. "Setiap kali pergi pameran pasti ditanya kamu punya sertifikasi apa," tutur pengusaha Jepara tersebut.
Lebih lanjut, dari sisi manajemen Maria mengaku mendapatkan pengetahuan lebih. SVLK membuatnya mengetahui asal kayu sampai keinginan pasar di Eropa.
"Perusahaan kami sebelum (SVLK) dan sesudah terlihat bedanya. Kalau sebelum dari managemen perusahaan kita kurang maksimal kita nggak tahu tata‎ usaha kayu yang baik seperti apa, regulasi pembelian kayu yang benar bagaimana. Dengan SVLK menambah knowledge terlebih terpenting barang yang kami ekspor diminati Eropa, negara lain bisa mendapatkan buyer potensial‎," ungkap dia.
Sebelumnya, pengusaha yang tergabung dalam Asosiasi Panel Kayu Indonesia (Apkindo) mengeluhkan tidak konsistensinya penerapan Sertifikasi Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK).
Hal ini setelah Kementerian Perdagangan (Kemendag) mengeluarkan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 89 Tahun 2015 tentang Ketentuan Ekspor Produk Industri Kehutanan.
Direktur Eksekutif Apkindo Rubiyanto mengatakan, dengan keberadaan Permendag tersebut maka produk kayu tujuan ekspor yang awalnya wajib memenuhi standar SVLK kini tidak perlu lagi.
Penghapusan kewajiban SVLK ini, khususnya untuk produk furnitur justru dikatakan membuat pengusaha kayu terancam rugi karena tidak bisa masuk pasar Eropa. "Permendag Nomor 89 Tahun 2015 tentang ekspor produk kehutanan itu bisa merugikan pengusaha," ujar dia.
Padahal, menurut dia, adanya SVLK membuat legalitas kayu jadi terjamin. Sehingga, pengusaha juga bisa dengan mudah masuk pasar Eropa yang selama ini ketat terkait dengan urusan kayu. Keberadaan Permendag 89 ini juga menghambat ekspor produk hasil hutan.
Rubiyanto mengungkapkan, dengan tidak ada pemberlakuan SVLK untuk produk furnitur membuat Uni Eropa menunda implementasi Voluntary Partnership Agreement Forest Law Enforcement Governance and Trade (VPA FLEGT).
Padahal, awalnya VPA FLEGT akan berlaku per 1 Januari. Namun karena penerbitan Permendag 89, VPA FLEGT diundur jadi per 1 April 2015. (Amd/Gdn)