Liputan6.com, Jakarta - Kegiatan riset atau penelitian di Indonesia selama ini terbentur pendanaan sehingga pengembangannya kurang maksimal dalam melahirkan inovasi brilian yang bermanfaat bagi negara ini. ‎Anggaran negara untuk membiayai penelitian masih sangat kecil dibanding tiga negara tetangga.
Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) Sangkot Marzuki, mengutip data Bank Dunia, besaran investasi yang dialokasikan Indonesia untuk mendanai penelitian sangat kecil, kurang dari 0,01 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) pada periode lima tahun sebelumnya.
"Jauh di bawah anggaran penelitian dan pengembangan negara tetangga, seperti Singapura (2 persen), Malaysia (1,06 persen), dan Vietnam (0,19 persen)," terangnya saat Peresmian Dana Ilmu Pengetahuan Indonesia (DIPI) di Gedung Kementerian Keuangan, Jakarta, Rabu (30/3/2016).
Hal ini diakui Menteri Keuangan (Menkeu), Bambang Brodjonegoro. Ia mengatakan, kehadiran DIPI diharapkan dapat menjadi kebangkitan bagi para peneliti dan ilmuwan Indonesia untuk fokus menggarap riset demi meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan bangsa.
Baca Juga
"Jumlah anggaran penelitian di Indonesia memang masih sangat kecil, khususnya dari APBN karena keterbatasan kemampuan membiayai. Apalagi mekanismenya masih rumit karena mengikuti siklus APBN setiap tahun," jelas dia.
Dalam catatan Bambang, alokasi anggaran penelitian dari APBN saat‎ ini baru 0,09 persen dari PDB Indonesia yang berjumlah sekitar Rp 11.000 triliun. Menurutnya, kegiatan penelitian di Indonesia 80 persen masih di‎biayai APBN, sementara negara-negara maju peran perguruan tinggi dan pihak swasta jauh lebih besar.
"Maka dari itu kita perlu upayakan dana penelitian dan pengembangan riset dari swasta, maupun sumber lain yang sah supaya anggaran bisa mendekati 1 persen. Jadi kita imbau swasta berperan lebih besar terhadap pendanaan riset di Indonesia," jelas dia.
Lebih jauh diakui Bambang, Kemenkeu akan merevisi Undang-undang (UU) Pajak Penghasilan (PPh), salah satunya memberikan insentif lebih besar bagi kegiatan riset dan pengembangan (research and development/R&D) kepada swasta. Tujuannya menggerakkan sektor industri sehingga industri nasional bukan saja mahir merangkai barang jadi, namun menciptakan karya yang bermanfaat.
"Insentif ini diberikan supaya industri berkembang di Indonesia. ‎Di Indonesia biaya komersialisasi hasil riset dan pengembangan 100 persen, jadi kita siapkan double atau triple deduction tax supaya R&D berkembang. Thailand sudah 200 persen, dan Singapura 400 persen," jelasnya.
Pemerintah, sambung Bambang, akan merevisi UU PPh untuk insentif R&D ‎sehingga dapat menarik kegiatan R&D dari perusahaan-perusahaan asing ke Indonesia dan pihak swasta lebih bergairah mendanai R&D.
"Penelitian sekarang ini masih dianggap barang mewah atau bukan prioritas. Jangan mikir Nobel, buat hidup sehari-hari ‎saja sudah susah," ucap Bambang.
Ia berharap, kegiatan penelitian di Indonesia dapat mendorong perekonomian nasional. Sebagai contoh, Bambang bilang, investasi R&D di Amerika Serikat telah mendongkrak perekonomiannya, termasuk di India yang kini serius memperkuat R&D.
"R&D di India dipakai untuk mendorong perekonomian, sehingga menjadi salah satu the higgest economy in ‎the world. Kita juga harus begitu, karena investasi dengan sasaran yang tepat bisa berimbas ke ekonomi dan meningkatkan daya saing," pungkas Bambang. (Fik/Nrm)