Liputan6.com, Jakarta - Di balik kesuksesannya memimpin PT Pertamina (Persero), Dwi Soetjipto ternyata pernah menjalani masa lalu yang sulit. Lahir dari keluarga kurang mampu, Dwi kecil selalu berurusan dengan surat miskin supaya bisa terus mengecap pendidikan hingga lulus menyabet gelar doktor di Universitas Indonesia (UI)
"Namanya dari keluarga yang ekonominya kurang mampu, setiap tahun harus urus surat izin miskin agar dapat potongan 50 persen iuran sekolah. Saat masuk kuliah pun, saya harus dapat beasiswa, dan itu bisa," katanya saat menjadi pembicara di Inspirato Liputan6.com, Jakarta, Rabu (6/4/2016).
Meski hidup susah, tekadnya untuk terus bersekolah sangat besar. Pria kelahiran Surabaya, 10 November 1955 itu membuktikan dirinya mampu menembus universitas bergengsi, Institut Teknologi Surabaya (ITS) di tanah kelahirannya. Berkat beasiswa, Dwi meraih gelar insinyur dari jurusan Teknik Kimia ITS.
Baca Juga
"Semua orang di kampung saya bilang tidak mungkin orang seperti saya bisa kuliah di ITS waktu itu. Tapi dengan keseriusan saya, belajar giat, toh kita lulus," ucap Dwi.
Untuk mencapainya, Dwi harus rela mengorbankan waktunya untuk sekadar ikut dalam kegiatan organisasi. Bukan karena alasan itu saja, Dwi juga dikenal sebagai sosok yang sangat minder.
Namun kelemahan ini tidak membuatnya putus asa, ia justru mendobrak rasa minder itu menjadi sebuah keberanian untuk aktif dalam kegiatan kemahasiswaan. Hasilnya, ia sempat menjabat sebagai Ketua Umum Senat Mahasiswa.
"Fisik saya juga kecil, lemah, cengeng. Tapi karena hidup di lingkungan keras, terpikir untuk punya kemampuan melindungi diri, saya ikut bela diri. Saking seriusnya ikut bela diri, saya bisa jadi juara nasional. Jadi poinnya, berangkat dari kekurangan diri, kita bisa," kata pria yang menyelesaikan studi magister di Universitas Andalas, Padang, itu.
Satu hal yang menjadi kekuatan atau motivasi Dwi hingga berhasil meraih puncak karier adalah kedua orangtuanya. Ia mengakui bahwa sang ayah hanya mengecap pendidikan dasar hingga kelas 3 SD dan ibunya buta huruf.
"Keinginan orangtua berharap saya lebih baik dari mereka. Jadi saya harus sekolah tinggi. Jadi nilai yang terbangun dalam diri, saya harus lebih baik dari kondisi saat ini," kata dia.
Dalam keseharian, Dwi Soetjipto berusaha untuk menikmati semua pekerjaannya. Apabila jenuh, ia mengalihkan kesibukannya dengan berolahraga. "Jangan sampai muncul kegalauan, enjoy saja. Saya paling malam pulang jam 9-10 malam, dan kalau jenuh refreshing-nya di tempat olahraga," katanya. (Fik/Gdn)