Liputan6.com, Jakarta Sebanyak 2.961 nama orang Indonesia masuk dalam daftar skandal pajak Panama Papers. Namun belum tentu nama yang masuk daftar tersebut bersalah.
Menurut pengamat perpajakan dari Universitas Indonesia, Ruston Tambunan, Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak harus menelusuri jejak seluruh data dan aset nama orang Indonesia yang menyeruak dalam bocoran Panama Papers. Unit Eselon I Kementerian Keuangan itu pun perlu mencocokkan datanya dengan data Panama.
"Tidak serta merta orang Indonesia mengemplang pajak. Jangan langsung mencap seperti itu walaupun mereka warga negara Indonesia (WNI). Itu kan baru nama-nama saja. Kalaupun cocok dengan data Ditjen Pajak, belum bisa memberikan indikasi apa-apa," ujarnya saat dihubungi Liputan6.com, Jakarta, Jumat (8/4/2016).
Advertisement
Â
Baca Juga
Ruston menjelaskan Ditjen Pajak perlu melacak nama-nama WNI yang beredar di Panama Papers terkait statusnya. Apakah mereka subjek pajak dalam negeri atau luar negeri. Ia mengatakan meskipun orang Indonesia, belum tentu subjek pajak itu mencari penghasilan di Tanah Air. Pasalnya, WNI yang tergolong Wajib Pajak berdasarkan Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh) adalah yang tinggal di Indonesia dan lebih dari 183 hari.
"Bisa saja dia tinggal di Singapura atau negara lain sudah lebih dari 183 hari walaupun orang Indonesia, bekerja di luar negeri, punya residen dan simpan uang di sana, sehingga dia subjek pajak luar negeri dan kita tidak bisa menyentuhnya, tentu tidak wajib membayar pajak di sini," katanya.
Apabila setelah ditelusuri subjek pajak di Panama Papers adalah WNI yang bekerja dan mendapatkan penghasilan dari Indonesia, ucap Ruston, Ditjen Pajak harus kembali mengulik berapa harta kekayaannya atau aset dan investasinya.
Katanya, sepanjang penghasilan, investasi, aset maupun harta kekayaannya dilaporkan secara benar dalam Surat Pemberitahuan (SPT) dan memenuhi kewajibannya membayar pajak, maka tidak akan ada pelanggaran ketentuan perpajakan.
"Yang jadi masalah, kalau penghasilannya belum pernah kena pajak sama sekali di Indonesia, malah dilarikan ke luar negeri, apakah dari usaha, penggelapan pajak, uang hasil korupsi kan tidak mungkin dilapor di SPT. Nah, itu pasti pengemplang pajak. Kalau nempatinnya di tax haven country pasti diduga kuat menghindari pajak," kata Ruston.
Diakui Ruston, banyak orang Indonesia yang membeli properti dan sudah menetap di luar negeri. Mereka datang sesekali ke Indonesia untuk berlibur, sehingga ia menyebutnya status mereka sebagai subjek pajak luar negeri.
"Jadi Ditjen Pajak harus mencocokkan datanya dengan data Panama Papers. Investigasi hartanya valid atau tidak, apakah hasil puluhan tahun lalu atau current. Database Ditjen Pajak kan katanya banyak tuh, jadi perlu ditelusuri walaupun memakan waktu lama," katanya.