Liputan6.com, Jakarta - Panama Papers menjadi pembicaraan hangat dalam beberapa hari terakhir. Panama Papers adalah sebutan untuk dokumen milik Mossack Fonseca, sebuah firma hukum yang berdiri di Panama, yang bocor ke surat kabar Jerman Süddeutsche Zeitung.
Surat kabar tersebut kemudian membagikan data tersebut kepada International Consortium of Investigative Journalists (ICIJ). Jumlah dokumen yang bocor tersebut tak main-main, hingga 11,5 juta dokumen yang berisikan catatan keuangan perusahaan, akta pendirian perusahaan, catatan hukum dan perbincangan email.
Untuk memindahkan data tersebut memerlukan 2,6 terabyte penyimpanan komputer (computer storage). Sebagai gambaran 1terabyte dapat disimpan di 1.400 CD ROM atau 220 DVD.
Baca Juga
Dalam website perusahaan, Mossack Fonseca menawarkan layanan hukum untuk perkara merek dagang, imigrasi, kontrak kerja, kekayaan intelektual serta beberapa lainnya.
Firma hukum ini memiliki kantor cabang di negara-negara yang mendapat label surga pajak (tax havens) seperti Belanda, Costa Rika, Malta, Hong Kong, Siprus, Virgin Island dan tentu saja Panama.
Setidaknya terdapat 128 politikus dan pejabat publik dari seluruh dunia yang masuk dalam daftar tersebut. Sebut saja PM Pakistan Nawaz Sharif, Presiden Ukraina Petro Poroshenko, Raja Arab Saudi Salman bin Abdulaziz bin Abdulrahman Al Saud, Presiden Suriah Bashar al-Assad dan PM Islandia Sigmundur Gunnlaugson.
Selain itu, terdapat 214.488 nama perusahaan offshore di dokumen yang bocor ini. Ratusan ribu perusahaan itu terhubung dengan orang-orang dari 200 negara.
Data tersebut rekaman laporan keuangan dan hukum dari para pejabat tersebut kurum waktu 40 tahun terakhir. Sejak 1977 hingga awal 2015 kemarin.
Menariknya, ada beberapa nama para pengusaha di Indonesia yang masuk ke daftar tersebut. Beberapa nama bahkan masuk dalam daftar orang terkaya versi Forbes. Nama-nama tersebut membuat dan memiliki perusahaan-perusahaan offshore untuk keperluan bisnisnya.
Salahkan jika masuk daftar Panama Papers?
Salahkan jika masuk daftar Panama Papers?
Sesaat setelah Panama Papers keluar, publik langsung memandang bahwa nama-nama yang ada di dalam daftar tersebut adalah pengemplang pajak. Padahal sebenarnya perlu adanya penelusuran lebih dalam terhadap nama-nama tersebut.
Dalam perpajakan ada yang disebut dengan penghindaran pajak. Penghindaran pajak tersebut berbeda dengan pengemplang atau penggelapan pajak. Jika pengemplang pajak memang dengan sengaja menggunakan cara-cara yang melanggar hukum, namun jika penghindaran pajak bisa dilakukan secara legal dengan memanfaatkan celah. Tetapi memang masalah penghindaran pajak ini masih diperdebatkan.
Pengamat Perpajakan dari Universitas Indonesia Ruston Tambunan menjelaskan, Direktorat Pajak perlu menelisik lebih dalam nama-nama warga negara Indonesia yang masuk ke dalam Panama Papers tersebut menghindar sebagai subyek pajak di Indonesia.
Ia menjelaskan, Warga Negara Indonesia (WNI) tidak selalu wajib membayar pajak ke Indonesia. WNI yang tergolong Wajib Pajak berdasarkan undang-undang Pajak Penghasilan (UU PPh) adalah yang tinggal di Indonesia dan lebih dari 183 hari.
"jadi kalau orang yang ada di daftar tersebut sudah tidak tinggal di Indonesia lebih dari 183 hari maka tidak wajib pajak. Kebalikannya kalai warga asing dan tinggal di Indonesia lebih dari 183 maka jadi wajib pajak," tuturnya kepada Liputan6.com.
Oleh karena itu, jika memang nama-nama tersebut merupakan WNI tapi memang sudah tidak tinggal di Indonesia maka bukan berarti dia adalah pengemplang pajak.
Diakui Ruston, banyak orang Indonesia yang membeli properti dan sudah menetap di luar negeri. ia kemudian menginvestasikan dananya di beberapa negara lain sehingga masuk ke dalam daftar tersebut. Mereka datang sesekali ke Indonesia untuk berlibur, sehingga ia menyebutnya status mereka sebagai subjek pajak luar negeri.
"Jadi mereka bukan pengemplang pajak," katanya.
Advertisement
SVP untuk aksi korporasi
SVP untuk aksi korporasi
Selain itu juga ada penyebab lain yang biasa dilakukan oleh orang Indonesia atau perusahaan Indonesia sehingga namanya masuk dalam dokumen di Mossack Fonseca.
Saat ini banyak orang Indonesia yang mendirikan special purpose vehicle (SVP) di luar negeri. Biasanya perusahaan yang mendirikan SVP di luar negeri tersebut mereka yang akan menerbitkan obligasi atau surat utang. SVP tersebut hanyalah paper company saja alias tak ada kegiatan fisik.
Mereka mendirikan perusahaan di luar negeri dan menerbitkan obligasi di luar negeri agar bisa mendapat akses dana secara global. Jika hanya di Indonesia, maka dana yang mereka dapatkan tidak terlalu besar.
"Motifnya mereka mendirikan perusahaan lalu perusahaan tersebut menerbitkan surat utang dan kemudian dana yang dihasilkan dipinjamkan ke perusahaan yang di Indonesia" jelas Ruston.
Hal tersebut dipandang tidak menyalahi aturan karena memang mereka menginginkan akses dana yang lebih luas.
Alasan lainnya, ada negara-negara yang bisa memberikan bunga yang rendah sehingga lebih menguntungkan jika mengeluarkan olbigasi di luar negeri.
Namun memang, dengan mendirikan perusahaan di luar negeri dan menerbitkan obligasi tersebut tidak bisa memantau apakah dana-dana yang masuk bukan dana panas. Pasalnya, biasanya negara-negara yang menjadi lokasi untuk menerbitkan SVP tersebut adalah negara-negara tax haven.
"Selain pajak rendah atau tidak ada sama sekali, kerahasiaannya sangat dilindungi. Mereka tidak mau bertukar informasi dengan negara lain," jelas dia.
Bukan sembunyi dari pajak tapi dari istri
Bukan sembunyi dari pajak tapi dari istri
Mereka yang namanya masuk di dalam Panama Papers tak selalu ingin menyembunyikan harga dari pajak tapi juga ada yang menyembunyikan dari istri. Perceraian membuat Dmitry Rybolovlev mengambil keputusan untuk menyembunyikan kekayaan dari mantan istrinya dengan menaruhnya di luar negeri. Karena itu pula, nama Dmitry Rybolovlev masuk dalam daftar Panama Papers.
Rybolovlev menyembunyikan lukisan mahal yang jadi aset keluarga kepada perusahaan yang terdaftar di British Virgin Islands.
Elena mengajukan gugatan cerai pada tahun 2008 saat mereka masih tinggal di Swiss. Maka, berdasarkan hukum di Swiss, masing-masing pasangan berhak untuk membagi kekayaan sama rata. Tampaknya Rybolovlsey tidak menginginkan hal tersebut.
Miliarder ini gunakan rekening di luar negeri untuk memindahkan aset yang berharga dan uang tunai ke luar negeri. Aset yang dipindahkan berupa lukisan karya Picasso, Van Gogh dan Rothko.
Melacak aset Dmitry Rybolovlev bukanlah hal yang mudah. Menurut International Consortium of Investigative Journalists (ICIJ), sebuah firma hukum, Mossack Fonseca dikenal sering membantu mentransfer kepemilikan para pengusaha dari banyak aset, terutama seni.
Kemudian aset tersebut dikirim ke perusahaan yang sengaja dibuat, di British Virgin Islands, Xitrans Keuangan Ltd. Perusahaan di luar negeri ini memiliki lukisan karya Picasso, Modigliani, Van Gogh, Monet, Degas dan Rothko. Selain itu, juga terdapat furnitur gaya Louis XVI yang dibuat oleh furnitur termegah di Paris.
 (Gdn/Ndw)
Advertisement