Liputan6.com, Jakarta -
Rencana kenaikan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) dari Rp 3 juta menjadi Rp 4,5 juta per bulan masih dinilai kecil. Pengusaha bahkan meminta gaji yang bebas dari pajak sebesar Rp 6 juta per bulan atau Rp 72 juta setahun.
Menanggapi usulan tersebut, Menteri Keuangan (Menkeu) Bambang Brodjonegoro menyatakan, prosentase PTKP terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) di Indonesia sudah merupakan salah satu yang tinggi di kawasan Asia Tenggara.
"PTKP kita sudah masuk yang tinggi untuk kawasan ASEAN. Kita tidak pakai angka, tapi prosentase. Prosentase PTKP dari PDB sudah cukup tinggi dibanding negara-negara ASEAN," ujar Bambang di kantornya, Jakarta, Jumat (7/4/2016).
Dia mengakui, penyesuaian batas PTKP dari Rp 36 juta setahun menjadi Rp 54 juta per tahun akan mendorong daya beli dan konsumsi masyarakat.
Baca Juga
Sumbangan peningkatan konsumsi dari kebijakan tersebut disebutkan Bambang sebesar 0,3 persen. Sedangkan tambahan inflasinya 0,06 persen dari kenaikan PTKP sampai akhir tahun.
"Kenaikan PTKP untuk menjaga pertumbuhan ekonomi, sehingga target pertumbuhan ekonomi tetap 5,3 persen di 2016," papar Bambang.
Sebelumnya, Chairman Garuda Food Group, Sudhamek AWS, saat ditemui saat diskusi Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN) mengungkapkan, kebijakan pemerintah dalam menyesuaikan batas PTKP tahun ini sangat bijaksana. Pengusaha dan karyawan akan sama-sama merasakan untung dari kenaikan PTKP tersebut.
"Buat pengusaha tidak ada masalah, itu malah baik. Karena selama ini kan Pajak Penghasilan (PPh) yang memikul pengusaha, jadi kalau PTKP dinaikkan beban pengusaha tidak bertambah, dan buat karyawan bagus untuk meningkatkan daya beli," kata anggota KEIN itu.
Pemerintah merencanakan kebijakan tersebut untuk meningkatkan daya beli masyarakat berpenghasilan rendah. Caranya membebaskannya dari pajak untuk batasan Rp 54 juta setahun atau Rp 4,5 juta per bulan. Walaupun diakuinya penetapan batas PTKP ini masih dianggap terlalu kecil.
"Nilai inflasi meningkat, sebenarnya Rp 4,5 juta batas PTKP itu jumlah kecil. Harusnya bisa lebih revolusioner, misalnya Rp 6 juta sebulan," tegas Sudhamek. (Fik/Nrm)