Sukses

Mendorong Kerja Sama Pajak Global Lebih Terbuka

Negara G-20 diminta memiliki sikap tegas bagi negara tax havens.

Liputan6.com, Jakarta - Keberadaan negara suaka pajak dinilai sangat merugikan karena secara tidak langsung mengeruk kekayaan negara berkembang, termasuk Indonesia.

Koordinator Publish What You Pay Indonesia (PWYP), Maryati Abdullah mengutip dari data Global Financial Integrity (GFI) 2015, melaporkan Indonesia berada pada peringkat 7 besar dunia sebagai negara yang memiliki aliran uang gelap tertinggi ke negara tax havens atau negara surga pajak.  

Dalam rentang waktu 2003-2012, ia menyebut, Indonesia tercatat mengalirkan dana gelap sebesar US$ 187,84 miliar atau sekitar Rp 2.442 triliun (kurs Rp 13.000 per dolar AS). Itu artinya, rata-rata per tahun total aliran uang gelap di Indonesia sekitar Rp 244,20 triliun.

"Negara-negara atau aktivitas di tax havens atau negara yang masuk dalam 10 besar aliran uang haram tertinggi itu rata-rata negara yang kaya sumber daya alam, karena industri ini lahan empuk terjadinya aliran uang haram, pencucian uang, korupsi pajak, pengaburan dokumen perusahaan," kata Maryati di kantor Transparancy International Indonesia (TII), Jakarta, Minggu (10/4/2016).  

 

Direktur Eksekutif Prakarsa Koordinator Forum Pajak Berkeadilan (FPB) Indonesia, Ah Maftuchan menambahkan, Indonesia telah kehilangan potensi penerimaan pajak sekitar Rp 2.400 triliun sepanjang 2003-2013 .

"Artinya rata-rata per tahun, potensi penerimaan pajak yang hilang sekitar lebih dari Rp 200 triliun. Uang ini potensi pajak yang menguap yang mengalir dari wilayah Indonesia ke negara lain dan negara suaka pajak," ujar dia.

Sementara itu, Program Manager International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) Siti Khoirun Nikmah menambahkan, dengan kekayaan sumber daya alam yang dimiliki, Indonesia seharusnya mampu meraup uang banyak untuk membiayai pembangunan, pendidikan, kesehatan, dan lainnya.

"Faktanya uang-uang yang dimiliki ada di negara surga pajak, sehingga kita masih harus berhutang untuk mendanai program prioritas. Ada negara yang sampai berhutang buat bangun negaranya, tapi ada negara yang justru mengambil kekayaan dengan memberlakukan pajak rendah, sampai nol persen. Itulah negara tax havens," tegas Siti.

Indonesia, Siti mengakui, merupakan salah satu negara yang dirugikan oleh keberadaan negara suaka pajak. Ini menandakan sistem perpajakan internasional menjadi salah satu penyebab ketimpangan.

Banyak perusahaan menyembunyikan perusahaan dan mendaftarkannya di negara surga pajak, padahal mereka mendapat untung dari Indonesia.

"Ini yang dinamakan transfer pricing. Penghindaran pajak bukan cuma dilakukan orang kaya, tapi juga korporasi. Sistem pajak internasional sudah timpang, hanya menguntungkan negara maju tapi tidak bagi negara miskin dan berkembang," tutur dia.

Siti mendesak Presiden Joko Widodo berperan lebih kuat di forum multilateral untuk mendorong kerja sama perpajakan global lebih terbuka, transparan, dan memberi keadilan bagi negara miskin dan berkembang. Keaktifan ini, sambungnya, harus menggandeng negara anggota G20 lain.

Saat ini, Ia menuturkan, negara-negara G20 baru menerapkan perusahaan-perusahaan yang dengan aset US$ 750 juta atau sekitar Rp 9 triliun saja yang mempunyai kewajiban melaporkan keuntungannya.

Kewajiban pertukaran informasi (Automatic Exchange System of Information) pada 2018, Ia menilai, baru ditanggapi serius 50 negara. Sementara ada negara-negara yang tercatat sebagai suaka pajak menolak aturan tersebut.

"Jadi negara G20 harus lebih berani memberi sanksi bagi negara surga pajak ini. Kalangan internasional harus memberikan sanksi politik dan ekonomi, misalnya pelarangan ekspor untuk menekan negara tersebut tidak menjadikan dirinya sebagai surga pajak," tegas Siti.

Program Manager Tata Kelola Ekonomi TII, Wahyudi pun mendesak G20 untuk menyepakati pendaftaran Benefecial Ownership (penerima manfaat), melakukan penolakan paspor bagi pelaku tindak pidana korupsi, pajak, dan pencucian uang.

Serta meregulasi investasi berdasarkan uang hasil kejahatan, sebagai contoh tidak bisa membeli aset-aset mewah yang terkadang menjadi modus pencucian uang.  

"Jika benefecial ownership ini diungkap, kita bisa mengidentifikasi perusahaan A misalnya ternyata dimiliki koruptor atau pemilik yang terindikasi korupsi," ujar Wahyudi. (Fik/Ahm)
    
   Â