Liputan6.com, Jakarta - Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) mengimbau agar pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) membubarkan lembaga non-struktural. Pasalnya, kehadiran lembaga tersebut menguras Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) hingga triliunan rupiah setiap tahun.
Sekretaris Jenderal FITRA, Yenny Sucipto, mengakui belanja pegawai dan belanja barang kementerian dan lembaga mengalami kenaikan dan menggerus uang negara setiap tahun, termasuk untuk menggaji Pegawai Negeri Sipil (PNS) tidak produktif dan pegawai di lembaga non-struktural.
"Ada banyak lembaga non-struktural yang menyedot uang negara sebesar 20 persen dari belanja pegawai dan dua pertiga dari belanja pegawai juga untuk membiayai aparatur sipil yang tidak produktif," kata Yenny saat ditemui di kantornya, Jakarta, Kamis (14/4/2016).
Baca Juga
Ia menyebut ada sekitar 111 lembaga non-struktural di Indonesia yang menyerap anggaran negara Rp 18 triliun. Melihat kondisi tersebut, Yenny menyarankan, sudah saatnya pemerintah Jokowi merombak atau mengubah nomenklatur di negara ini supaya fiskal Indonesia lebih sehat.
"Di era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono 2011, belanja pegawai Rp 73 triliun. Tapi naik 7 kali lipatnya di era pemerintahan Jokowi sekitar Rp 263 triliun. Jadi bongkar nomenklatur dalam anggaran Kementerian dan Lembaga," katanya.
Tentu, kata Yenny, dalam hal ini pemerintah harus mempertimbangkan kinerja PNS di kementerian dan lembaga serta mulai melaksanakan pemberian reward dan punishment kepada aparatur sipil yang produktif maupun tidak produktif.
"Nah, kaitannya dengan pensiun dini memang bisa mereformasi fiskal kita. Tapi jangan sampai juga anggaran pensiun dini malah membebani APBN kita. Sebab, tergerusnya uang negara banyak untuk membayar PNS tidak produktif dan pensiunan PNS," kata Yenny.
Sebelumnya, Menteri Keuangan (Menkeu), Bambang Brodjonegoro, mengungkapkan pos belanja pegawai di lingkungan K/L hingga 31 Maret ini mencapai Rp 38,8 triliun atau 18,6 persen dari pagu di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2016 sebesar Rp 208,2 triliun.
Penyerapan tersebut mengalami kenaikan dari realisasi belanja pegawai di periode yang sama 2015 sebesar Rp 31,8 triliun atau 17,3 persen dari target APBN Perubahan tahun lalu sebesar Rp 183,7 triliun.
"Kenaikan belanja pegawai lebih didorong pembayaran tunjangan kinerja PNS," ujar Bambang.
Dari data Kemenkeu, realisasi belanja barang sepanjang 3 bulan pertama ‎mencapai Rp 24,6 triliun atau 7,6 persen dari pagu pos belanja barang di APBN 2016 sebesar Rp 323,9 triliun. Sementara realisasi tahun lalunya, sebesar Rp 15,5 triliun atau 6 persen dari target APBN-P 2015 sebesar Rp 259,4 triliun.
Belanja bantuan sosial (bansos) yang sudah terserap di kuartal I 2016, realisasinya 18,3 persen atau Rp 9,2 triliun dari pagu Rp 50,4 triliun di APBN 2016. Pencapaian ini lebih tinggi dari posisi periode sebelumnya dari sisi prosentase sebesar 14,9 persen dari target APBN-P 2015 sebesar ‎Rp 99,6 triliun. Sedangkan dari sisi nilai, realisasi tahun lalu lebih besr Rp 14,9 triliun.
"Belanja ‎bansos memang turun pagunya. Tapi realisasi belanja modal jauh lebih tinggi dari Rp 3,9 triliun atau 1,6 persen dari APBN-P 2015 sebesar Rp 252,8 triliun menjadi Rp 10,2 triliun atau 5,1 persen dari target APBN 2016 sebesar Rp 201,6 triliun," kata Bambang. (Fik/Gdn)