Liputan6.com, Jakarta - Indonesian Petroleum Association (IPA) menanggapi temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dana sebesar Rp 4 triliun yang seharusnya tidak dibebankan pada pembayaran ganti negara atas kegiatan hulu migas (cost recovery).
IPA menilai pihak auditor sudah banyak melakukan klarifikasi terhadap Kontraktor Kontrak Kerjasama (KKK) yang mengoperasikan.
Baca Juga
Namun, biasanya terdapat perbedaan pendapat mengenai cost recovery yaitu di data proses bisnis dan bisnis rasionalnya, sehingga membutuhkan proses panjang untuk klarifikasi dan tidak bisa cepat mengambil kesimpulan.
Advertisement
"Pemeriksaan BPK ini merupakan suatu proses yang banyak klarifikasi yang dilakukan dari pihak auditor yang dilakukan KKK yang mengoperasikan," kata Direktur IPA Marjolijin Wajong , di Jakarta, Jumat (15/4/2016).
Marjolijin menuturkan, dalam skema bagi hasil dalam industri migas (Production Sharing Contract/PSC) yang dianut negara, sudah cukup ketat terkait cost recovery yang harus dikomunikasikan dan disetujui.
Baca Juga
"Sebenarnya, dalam sistem PSC sudah sangat ketat peraturan mengenai apa yang boleh di cost recovery atau tidak. Dalam cost recovery setiap step harus komunikasi dan approval yang resmi untuk mengeluarkan biaya dan dalam proses pelaksnakan proyek selalu ada dialog," jelas Marjolin.
Marjolijin mengungkapkan, jika terjadi penggelembungan cost recovery sangat sulit, karena dalam proses cost recovery cukup ketat.
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan ada pembebanan biaya ganti negara dari kegiatan hulu minyak dan gas bumi (cost recovery) pada tujuh blok migas senilai Rp 4 triliun. Pembebanan bernilai triliunan rupiah kepada negara tersebut dinilai seharusnya tidak dilakukan.
Ketua BPK Harry Azhar Aziz mengaku pihaknya melakukan pemeriksaan atas perhitungan bagi hasil minyak dan gas bumi pada Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas).
Hasilnya menunjukkan terdapat biaya yang dibebankan dalam cost recovery pada tujuh Wilayah Kerja Migas yang digarap Kontraktor Kontrak Kerjasama (KKKS) senilai Rp 4 triliun.
"Ini seharusnya tidak dibebankan cost recovery," ungkap Harry pada Selasa 12 April 2016.
Laporan ini masuk dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) beserta Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Semester II 2015.
BPK menemukan 2.537 masalah pengelolaan negara yang berdampak pada keuangan senilai Rp 9,87 triliun selama semester II 2015. Dari temuan masalah tersebut mengakibatkan kerugian negara senilai Rp 710,91 miliar. (Pew/Ahm)