Sukses

Kadin Minta Menteri Susi Perkuat Kebijakan Perikanan di Hilir

Saat ini banyak pelaku usaha perikanan dan karyawan menganggur, utamanya di Kawasan Timur Indonesia (KTI).

Liputan6.com, Jakarta - Pengusaha yang tergabung dalam Kamar Dagang dan Industri (Kadin) menilai kebijakan Menteri Perikanan Susi Pudjiastuti saat ini sudah bagus. Kendati demikian, kebijakan ini belum diikuti industrialisasi perikanan yang intensif.

Akibatnya, banyak pelaku usaha perikanan dan karyawan menganggur, utamanya di Kawasan Timur Indonesia (KTI).

“Kebijakan Ibu Susi sudah tepat utamanya di hulu industri perikanan kita. Tapi di hilirnya misalnya diolahannya kita belum lihat ada geliat yang cukup berarti,” ujar Wakil Ketua Umum dan Kordinator Kadin KTI Andi Rukman Karumpa di Jakarta, Rabu (20/4/2016).

Dia melihat kebijakan Menteri Susi merupakan respon atas tingginya angka pencurian ikan dan penguasaan asing yang dominan atas industri perikanan di masa lalu. Akibatnya negara selalu merugi hingga ratusan triliun rupiah per tahun.

Menteri Susi kemudian memberantas pencurian ikan, mencabut izin bongkar-muat ikan di tengah laut (transhipment), melarang penggunaan alat tangkap merusak, dan menjaga keberlanjutan sumber daya ikan dengan memilah dan memilih komoditas ikan yang boleh diperdagangkan.

“Kebijakan ini pada hulunya sudah bagus. Beliau mendekonstruksi sistem di industri perikanan sebelumnya yang merugikan negara dan nelayan namun menguntungkan pencuri ikan,” ujar Andi.


Dari data yang dimilikinya, Andi mencontohkan, perairan Laut Cina Selatan merupakan wilayah dengan total potensi perikanan terbesar, yakni mencapai 1,05 juta ton dengan komposisi ikan terbanyak pelagis kecil 59 persen, demersal 32 persen dan pelagis besar 6 persen.

Selat Makassar menyimpan potensi terbesar kedua sebanyak 929 ribu ton yang terdiri atas pelagis kecil 65 persen, pelagis besar 21 persen dan demersal 9 persen.

Wilayah lain yang memiliki sumber daya perikanan terbanyak berikutnya adalah Laut Arafura sebanyak 855 ribu ton, Laut Jawa 836 ribu ton dan Teluk Tomini 595 ribu ton.

Kemudian diikuti Samudera Hindia di barat Sumatera sebanyak 565 ribu ton dan Samudera Hindia sisi selatan pulau Jawa sebanyak 491 ribu ton. Wilayah perairan dengan potensi perikanan lebih kecil di kisaran 300 ribu ton adalah Laut Sulawesi, Laut Banda, Selat Malaka Samudera Pasifik.

Sayangnya, ujar Andi, kebijakan ini belum diikuti industrialisasi perikanan secara intensif, sistematis, dan integratif. Hal inilah yang membuat pelaku usaha dan industri yang sebelumnya sudah tutup, terlalu lama menganggur dan belum memiliki kepastian melanjutkan usaha di industri ini.”Hilirisasi belum jelas semacam apa masih minim kepastian,” dia menjelaskan.

Andi mengatakan, ada jutaan anak buah kapal dan nelayan yang menganggur, serta 200 buah kapal besar tidak melaut, dan kapal kayu buatan dalam negeri berukuran 100 GT-300 GT menganggur sebanyak 1.000 buah. Termasuk, kapal cantrang dengan ukuran 30 GT-100 GT yang berhenti beroperasi sekitar 1.000 buah.

Deindustrialisasi perikanan ini dikatakan hampir sama kondisinya dengan dampak dari kebijakan hilirisasi pertambangan dan mineral.

“Kita mendukung kebijakan ini sebab harus ada nilai tambah bagi perekonomian kita. Tapi, Kadin ingin melihat industrialisasi dan hilirisasi perikanan ini dapat segera efektif,” ujar Andi.

Hilirisasi tersebut misalnya penyediaan kapal dan alat tangkap, penebaran benih ikan, pembangunan cold storage, serta pembangunan pasar ikan terintegrasi. Tak hanya itu, ketersediaan modal, investasi, dan infrastruktur penunjang.

Sebagaimana diketahui, pemerintah menargetkan produksi ikan terus meningkat hingga mencapai 6,9 juta ton pada 2019, naik dari produksi 2015 sebesar 6,2 juta ton. Selain itu, pemerintah juga berupaya menjadikan ikan sebagai produk pangan utama bagi masyarakat yang ditunjukkan dari peningkatan konsumsi ikan nasional dari 40,9 kilogram per kapita per tahun penjadi 54,4 kilogram per kapita per tahun. (Nrm/Zul)