Liputan6.com, New York - Harga minyak melonjak ke level tertinggi dalam lima bulan terakhir pada penutupan perdagangan Rabu (Kamis pagi waktu Jakarta) setelah stok minyak olahan (dislitasi) mengalami penurunan cukup tajam dan tak terduga. Penurunan stok tersebut membuat pelaku pasar yakin bahwa surplus minyak mentah bisa berkurang.
Mengutip Wall Street Journal, Kamis (21/4/2016), minyak mentah jenis Light Sweet untuk pengiriman Mei ditutup naik US$ 1,55, atau 3,8 persen ke level US$ 42,63 per barel di New York Mercantile Exchange. Sedangkan untuk Kontrak Juni yang merupakan kontrak lebih aktif diperdagangkan naik US$ 1,71 atau 4 persen ke level US$ 44,18 per barel.
Baca Juga
Sedangkan untuk minyak Brent, yang merupakan patokan global, ditutup naik US$ 1,77 atau 4 persen ke level US$ 45,80 per barel di ICE Futures Europe. Level tersebut adalah penutupan tertinggi Brent sejak 25 November 2015.
Departemen Energi Amerika Serikat (AS) melaporkan bahwa stok minyak olahan yang meliputi heating oil dan diesel turun hampir 3,6 juta barel. Padahal para analis semula tidak memperkirakan adanya penurunan tersebut. Dengan penurunan stok tersebut diharapkan bisa mengimbangi kelebihan pasokan minyak mentah.
Analis Tradition Energy Gene McGillian menjelaskan, minyak diesel biasanya sering digunakan untuk bahan bakar alat berat. Dengan adanya penurunan minyak diesel ini diharapkan bisa mendorong pertumbuhan ekonomi karena adanya aktivitas alat berat.
"Dengan adanya penurunan stok minyak olahan tersebut memberikan dukungan bagi pelaku pasar melakukan aksi beli sehingga mendorong harga minyak," jelas McGillian.
Tetapi, ia melanjutkan, kenaikan harga minyak tersebut belum bisa disimpulkan akan berlangsung secara jangka panjang. Ada sentimen-sentimen lain yang harus mendukung agar bisa mendorong penguatan harga minyak. (Gdn/Zul)