Liputan6.com, Jakarta - Indonesia dinilai sulit untuk mengimplementasikan kesepakatan keterbukaan informasi perpajakan yang dibuat oleh negara-negara yang tergabung dalam G20. Alasannya, hukum di Indonesia sendiri belum mendukung keterbukaan informasi perpajakan tersebut.
Direktur Eksekutif Center of Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo sangsi dengan kesepakatan mengenai keterbukaan data perpajakan yang diterapkan pada 2018 bakal efektif mengejar dana orang Indonesia yang parkir di luar negeri. Keterbukaan ini mengacu pada kesepakatan KTT negara G20 yang direalisasikan dalam program Automatic Exchange of Information (AEoI).
Yustinus menerangkan, keterbukaan data seharusnya bisa mengejar dana-dana orang di Indonesia yang di luar negeri . Namun demikian, hal tersebut sulit tercapai mengingat keterbukaan ini berlaku timbal balik. Artinya, Indonesia baru dapat data jika Indonesia memberikan data yang lengkap.
Baca Juga
"Kita bisa menerima data dari Singapura kalau bisa memberi ke Singapura, dan sebaliknya," kata dia, Jakarta, Jumat (22/4/2016).
Sayangnya, kata dia, kelengkapan data merupakan masalah yang terjadi di Indonesia. Sebut, saja kerahasiaan di perbankan di Indonesia masih tinggi jika dibanding negara-negara dalam satu kawasan ASEAN. "Kerahasiaan perbankan masih lebih tinggi dari Singapura, Thailand, Malaysia, Filipina," tambah dia.
Maka dari itu, agar Indonesia bisa meraih keterbukaan data tersebut mesti melakukan perbaikan dari sisi regulasi. Kemudian, melakukan reformasi penegakan hukum.
"‎Persoalannya politis, berani tidak DPR bersama menyelesaikan UU soal Pajak dan Perbankan. Membuka akses perbankan untuk pajak, menginisiasi mengidentifikasi single indetification number supaya bisa capture. Menjadikan Ditjen Pajak badan yang otonom, lebih kuat kredible. Reformasi penegak hukum," tutup dia.
Untuk diketahui, negara-negara dengan perekonomian terbesar di dunia (G20) sepakat bakal mengenakan sanksi tegas bagi negara-negara yang tidak kooperatif dan bersedia membuka data pajak dan perbankan pada akhir 2017. Kesepakatan ini lahir dari pertemuan G20 dan Spring Meeting IMF/Bank Dunia di Washington, AS yang berlangsung pada pekan ini.
Menteri Keuangan (Menkeu) Bambang Brodjonegoro mengatakan, negara-negara anggota G20 masih berkoordinasi untuk menentukan sanksi apa yang akan dikenakan, termasuk lembaga yang dapat menerapkan sanksi tersebut.
"Intinya sudah ada keputusan di G20, semua sepakat bahwa sanksi itu diperlukan. Tinggal diputuskan lembaga mana yang bisa mengenakan sanksi itu, berikut bentuk sanksi seperti apa," kata Bambang di kantornya, Jakarta, Jumat (22/4/2016).
Menurutnya, negara-negara yang tergabung dalam Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (Organisation for Economic Co-operation and Development/OECD) akan terlibat di pembentukan lembaga tersebut. "Ya, nanti OECD yang incharge di sana," tegas Bambang. (Amd/Gdn)