Sukses

Apakah China Akan Hadapi Krisis Keuangan Seperti AS?

George Soros memperkirakan China sedang hadapi krisis keuangan seperti di Amerika Serikat (AS) pada 2008.

Liputan6.com, Jakarta - Pertumbuhan ekonomi China pada kuartal I 2016 mengesankan analis sehingga dapat meningkatkan prediksi mereka. Akan tetapi hal itu tidak berlaku untuk George Soros.

Ia memperkirakan kalau ekonomi China akan sulit. Bahkan ia mengatakan China sedang menghadapi krisis keuangan serupa yang terjadi Amerika Serikat (AS) pada 2008.

Lembaga pemeringkat internasional antara lain S&P dan Moody's bahkan telah memangkas prospek utang negara tersebut pada Maret. Peringatan terhadap pertumbuhan utang pun telah menjadi biasa. Namun China dinilai dapat mahir mengatasi hal itu.

Mengutip laman Marketwatch, seperti ditulis Sabtu (23/4/2016), kolumnis Craig Stephen pun menilai pernyataan investor George Soros juga perlu dipertimbangkan, tetapi apakah krisis tersebut mulai mendekat?

Salah satu argumennya, kalau China berbeda dari segi ukuran dan kemampuan pemerintah yang terdiri dari satu partai untuk melakukan kontrol yang belum pernah terjadi sebelumnya atas ekonomi. Ini berarti asumsi konvensional harus disingkirkan.

Tentu saja argumen yang dikeluarkan sama seperti melihat kondisi ekonomi yang terjadi di Amerika Serikat (AS). Pada 2001, gelembung teknologi terjadi AS dan kemudian pasar properti sebelum krisis keuangan global pada 2008. Mungkin sekali lagi itu tidak berbeda, tetapi hanya waktu keluarnya.

Mungkin tentu tampak ada bukti, tetapi pihak berwenang juga berusaha untuk mengantisipasi krisis. Salah satunya dengan melihat likuiditas antar bank. Hal ini mengingat likuiditas antar bank jadi kunci selama krisis keuangan global.

Bila melihat permukaan masih terlihat "jinak" meski ada sebagian besar intervensi bank sentral. Pada pekan terakhir ini saja, bank sentral China atau the People's Bank of China telah menyuntikkan modal sekitar 870 miliar yuan ke pasar untuk likuiditas dana tunai.

Indikator lainnya untuk melihat kondisi ekonomi yaitu dari pasar obligasi. Pasar obligasi korporasi China kelihatan dalam kondisi lesu. Setelah awal tahun dimulai dengan rekor penerbitan obligasi atau surat utang, dan kini cenderung sepi. Berdasarkan laporan kalau lebih dari 40 perusahaan telah membatalkan penerbitan obligasi sejak Maret.

Salah satu indikator lainnya paling jelas untuk melihat kondisi keuangan yaitu mata uang China. Nilai tukar mata uang China sengaja dilemahkan, yang telah terjadi sejak Agustus tahun lalu. Hal tersebut juga berada di bawah pengawasan ketat.

Namun langkah itu tidak berjalan baik. Ada aksi jual besar di pasar global, dan muncul kemungkinan memicu kembali arus keluar modal dari China.

Sejumlah analis berpendapat kalau China menghadapi depresiasi tajam terhadap mata uangnya. Hal ini membuat pertanyaan apakah itu dapat membuat China alami krisis keuangan atau ekonomi sulit karena ketidakseimbangan aliran modal.

Dalam laporan CLSA menyebutkan kalau kebijakan China mendepresiasi mata uangnya secara bertahap tidak dapat memperbaiki masalah keuangan.

Bahkan langkah itu dapat membuat hal buruk. CLSA menilai kalau China tidak memiliki pilihan selain membiarkan mata uang yuan secara mengambang pada 2017.  Sistem kurs mengambang ini berarti penentuan kurs valas terjadi tanpa campur tangan pemerintah.

China pun menghadapi penyusutan cadangan devisa. Karena itu, satu-satunya cara untuk menemukan keseimbangan dengan melalui sistem nilai tukar yang ditentukan oleh pasar. Hal ini dinilai dapat memungkinkan menemukan nilai tukar yuan. Masalahnya bagaimana pun juga proses tersebut diserahkan ke pasar.

Seperti biasa, peringatan George Soros perlu dianggap serius. Ukuran China pasti berbeda tetapi ini juga bisa berarti menghadapi hal besar berbeda seperti krisis keuangan berikutnya. (Ahm/Ndw)