Liputan6.com, Jakarta - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) akan mengeluarkan insentif untuk bank yang melakukan efisiensi pada pekan ini. Langkah itu merupakan salah satu upaya untuk mengejar suku bunga kredit single digit perbankan sampai akhir tahun.
Ketua Dewan Komisioner OJK Muliaman D Hadad mengatakan, insentif yang diberikan kepada bank efisien dengan mengacu pada kolaborasi Biaya Operasional Pendapatan Operasional (BOPO) dan Margin Bunga Bersih (Net Interest Margin/NIM). Semakin rendah BOPO dan NIM semakin besar insentif yang diberikan kepada bank.
"Itu nanti akan ada istilahnya perpaduan antara NIM dengan BOPO. Saya kira subtansinya tidak berubah. Cuma lebih kepada isu legal saja. Jadi aturan apa yang mesti diubah. Pada satu level tertentu akan ada insentif, tapi kita berikan bantuan, kalau memenuhi itu kita kasih pendidikan, macam-macam lah," kata dia di DPR,Jakarta, Senin (25/4/2016).
Baca Juga
Baca Juga
Dia mengaku optimis suku bunga single digit dapat tercapai tahun ini. Pasalnya, beberapa bank perlahan mulai menurunkan suku bunga kreditnya.
Advertisement
"Sebetulnya sampai hari ini sudah banyak yang single digit. Malah kemarin beberapa bank, kredit mikro sudah ditekan di single digit," ujar dia.
Muliaman mengaku, insentif bank ini mundur dari rencana yang dijadwalkan pada awal pekan April. Namun begitu dia memastikan insentif tersebut keluar pekan ini. "Mungkin minggu ini (keluar aturannya," beber Muliaman.
Bank Indonesia (BI) berharap perbankan mengatur keuangannya dengan baik terutama untuk kelebihan biaya (over head cost) seperti biaya karyawan dan infrastruktur. Hal tersebut dilakukan supaya bunga turun lantaran inflasi yang ada saat ini relatif rendah.
Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara mengatakan, over head cost perbankan relatif tinggi jika dibanding dengan negara lain.
"Komponen over head perbankan Indonesia, jauh lebih tinggi dibanding negara tetangga. Itulah kenapa over head cost tidak efisien. Kalau pakai ukuran BOPO di level 70-80 persen, negara lain 40 persenan setengahnya," kata dia.
Mirza menerangkan, biaya dana perbankan Indonesia relatif tinggi karena sebelum 2015 inflasi Indonesia mencapai 8,3 - 8,4 persen. Hal itu membuat deposan atau penyimpan uang di bank meminta bunga dana lebih tinggi dari inflasi.(Amd/Nrm)