Sukses

Pertahanan Hadapi Derasnya Produk Makanan Online

Perkembangan teknologi perlu dibarengi dengan peningkatan pengawasan, khususnya untuk perdagangan produk makanan.

Liputan6.com, Jakarta - Perkembangan teknologi menyasar ke semua lini kehidupan manusia. Tak terkecuali sektor ekonomi khususnya perdagangan. Industri perdagangan berbasis elektronik atau internet (e-commerce) kini telah jamak. Toko-toko online terus bermunculan bagaikan jamur di musim hujan. 

Tentu saja, pertumbuhan toko online tersebut memberikan dampak positif sekaligus negatif bagi konsumen. Hadirnya toko online mampu memberikan kemudahan kepada konsumen namun terkadang karena tak terawasi, pembeli sering dirugikan karena produk yang dijual tak sesuai standar. 

Oleh karena itu, perkembangan teknologi ini perlu dibarengi dengan peningkatan pengawasan, khususnya untuk perdagangan produk makanan. Tentu saja, pengawasan ini semata-mata untuk memberikan perlindungan kepada konsumen. 

Direktur Jenderal dan Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga Kementerian Perdagangan Syahrul Mamma menjelaskan, produk makanan yang dijual secara online sering tidak memenuhi standar kesehatan sehingga merugikan konsumen. Namun sayangnya, Kementerian Perdagangan sulit untuk mengawasi perdagangan makanan online.

"Online ini kan langsung ke masyarakat, dan susah untuk dipantau. Ini seharunsya dipantau. Mereka langsung jual kepada konsumen dan tidak terdaftar kepada Badan Pengawas Obat Makanan (BPOM)," kata dia dalam rangkaian acara peringatan Hari Konsumen Nasional (Harkonas) seperti ditulis, Jumat (29/4/2016).

Karena peredaran makanan tersebut sulit untuk diawasi, maka Kementerian Perdagangan meminta peran serta dari konsumen. Syahrul meminta agar konsumen tak segan melaporkan produsen produk atau penjual yang didapat tidak sesuai standar dan merugikan.

"‎Sementara kita merencanakan membuat sebuah komunitas, dari masyarakat melalui hotline atau whatsapp. Mereka memberikan masukan-masukan juga. Kami ada pengaduan masyarakat juga 1x24 jam," tambah dia.

Data Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menunjukkan adanya peningkatan drastis pengaduan konsumen yang disebabkan oleh belanja online pada 2015 lalu. Aduan belanja online masuk 10 besar pengaduan dengan menempati posisi ke-4. Padahal, tahun sebelumnya berada di luar peringkat 10 besar.

YLKI menyebut, dari ‎1.030 kasus yang masuk, sebanyak 77 kasus dari belanja online. Hal ini menunjukkan jika belanja online mampu menarik minat masyarakat, di sisi lain regulasi untuk menangani kasus masih rendah.

Dari ke 77 kasus itu, sebanyak 20 persen atau 16 kasus adalah masalah pengembalian dana (refund), 16 persen atau 13 kasus karena informasi produk tidak sesuai dan 15 persen atau 12 kasus karena proses pengiriman lama.

Pengaduan belanja online di bawah posisi pengaduan sektor perbankan, perumahan, dan ‎telekomunikasi.‎

Ketua Umum Indonesia e-Commerce Association (idEA) Daniel Tumiwa mengatakan, untuk melindungi konsumen, industri e-commerce telah mengusulkan kepada pemerintah konsep kebijakan Safe Harbour Policy. Safe Harbour Policy sendiri merupakan sistem yang muncul di Amerika Serikat (AS) pada tahun 1998.

Secara garis besar, konsep kebijakan tersebut mewajibkan pemilik barang atau produk menjaga atau melindungi nama baik produknya. Maksudnya, kesalahan produk bukanlah tanggungjawab platform e-commerce melainkan pemilik produknya.

Untuk realisasi, nanti pemilik produk mesti mencantumkan profil secara lengkap. Pada platform e-commerce sendiri juga harus tersedia fitur pelaporan.

"Dari konsumen tidak berpegang diri sendiri, konsumen tanggung jawab seperti harga mencurigakan, identitas, tanda tanya. Jadi mengatur kewajiban mencantumkan fitur laporan,‎" jelas dia.

Dia melanjutkan, fitur pelaporan merupakan senjata konsumen ketika menjumpai akun yang mencurigakan atau produk yang diterima membuat konsumen rugi. Dengan begitu, konsumen bisa melakukan tindakan terhadap kerugian yang diakibatkan oleh user, sementara platform e-commerce melakukan tindakan pada user.

"Sampai ada komplain, 'saya keberatan'. Selama tidak ada komplain maka tidak diturunkan," ujar dia.

Konsumen Harus Naik Kelas

‎Perlindungan konsumen tidak terlepas dari adanya konsumen yang cerdas. Menteri Perdagangan Thomas Lembong menyerukan supaya konsumen harus mengubah perilaku dari sekadar mengonsumsi barang dan jasa. Dia mengatakan, konsumen harus secara maksimal dalam memilih produk.

"‎Konsumsi harus naik kelas, evolusi dari orientasi konsumsi sekadar konsumsi menjadi konsumsi yang cerdas, " kata dia.

Dia menjelaskan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) sendiri berupaya melakukan transisi ekonomi dari konsumsi menjadi produksi dan investasi. Namun begitu, pihaknya mengatakan bukan berarti meninggalkan konsumsi sama sekali.‎

Konsumen, lanjut Thomas mesti bersikap kritis akan produk yang dibeli. Konsumen Indonesia mesti mencontoh negara maju seperti Jerman dan Korea saat membeli produk. Sikap itu, kata Thomas justru membantu pemerintah dalam mendorong perbaikan karena menghasilkan produk dan kompetitif.

"Kalau perhatikan negara jago ekspor seperti Jepang, Jerman, Korea mereka punya konsumen paling ceweret di dunia. Ngotot pada mutu, kualitas, durabilitas, produk dan jasa yang mereka konsumsi," tutup dia. (Amd/Gdn)