Liputan6.com, Jakarta - Mulai awal Mei ini, masyarakat harus mengatur ulang rencana keuangan mereka, terutama terkait biaya energi. Sebab, PT PLN (persero) kembali menaikkan tarif listrik untuk 12 golongan dengan daya di atas 1.300 volt ampere (VA).
PLN berdalih, kenaikan tarif listrik dipicu meningkatnya harga minyak, meski ini masih diimbangi penguatan nilai tukar rupiah. Artinya, tarif listrik bisa naik lebih besar jika rupiah keok dari dolar Amerika Serikat (AS).
Rencana kenaikan tarif listrik sudah didengungkan beberapa waktu. Hanya saja, kerap terjadi tarik ulur karena beberapa hal. Namun, kenyataannya tarif listrik tetap naik.
Advertisement
Kepala Divisi Niaga PLN Benny Marbun, Minggu 1 Mei 2016, mengungkapkan kenaikan ‎tarif listrik berlaku untuk tegangan rendah (TR) menengah (TM) dan tinggi (TT). "Tarif listrik Mei rata-rata naik," kata dia.‎
Berikut ulasan Liputan6.com soal kenaikan tarif listrik, antara lain perihal penyebab, besaran kenaikan dan lainnya, Selasa (3/5/2016)
Penyebab Kenaikan Tarif Listrik
Akhirnya, PLN kembali menaikkan Tarif Tenaga Listrik (TTL) untuk 12 golongan pelanggan pada awal Mei 2016 ini. Kenaikan tarif listrik dipicu kenaikan harga minyak, yang diimbangi penguatan nilai tukar rupiah.
Kepala Divisi Niaga PLN Benny Marbun mengungkapkan, kenaikan ‎tarif listrik berlaku untuk tegangan rendah (TR) menengah (TM) dan tinggi (TT).
Harga minyak ICP yang menjadi penyebab kenaikan tercatat naik US$ 5,27 per barel di Maret. Dari US$ 28,92 per barel pada Februari menjadi US$ 34,19 per barel pada Maret.
Nah, penguatan rupiah dinilai mampu menahan laju kenaikan tarif listrik yang juga terdampak kenaikan harga minyak bumi.Â
Benny menuturkan, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) menguat Rp 322 pada Maret. Dari sebelumnya rupiah berada di posisi Rp 13.889 pada Februari, menguat jadi Rp 13.194 di Maret.Â
Selain itu, faktor kenaikan inflasi yang juga terjadi pada Maret 2016 mempengaruhi kenaikan tarif listrik. inflasi pada Maret tercatat naik 0,28 persen, dari -0,09 persen di Februari menjadi 0,19 persen.
Besaran Kenaikan
Kenaikan ‎tarif listrik berlaku untuk tegangan rendah (TR) menengah (TM) dan tinggi (TT). Benny Marbun menyebutkan, tarif tegangan rendah pada Mei ini naik sebesar Rp 10 per kilo Watt hour (kWh).
Tarif listrik golongan ini naik dari Rp 1.343 per kWh pada April menjadi Rp 1.353 per kWh di Mei. Tarif TR adalah pelanggan dengan golongan R1 dengan daya 1.300 VA, R1 2.200. Kemudian R2 dengan daya 3.500-5.500, R3 dengan daya 6.600 ke atas. Adapula B2 adalah pelanggan dengan daya 6.600 sampai 200 ribu VA, serta P1 dengan daya 6.600-200 ribu Va.
Sementara untuk tarif listrik dengan tegangan menengah (TM) naik Rp 8 per kWh, dari Rp 1.033 per kWh menjadi Rp 1.041 per kWh. Tarif TM bagi pelanggan B3 dengan daya listrik > 200 kVA, I3/>200 kVA, P2/>200 kVA.
Kemudian tarif listrik tegangan tinggi (TT) naik Rp 7 per kWh, dari Rp 925 kWh menjadi Rp 932 kWh. Tarif TT adalah pelanggan I-4 dengan daya 30 MVA ke atas.
Cabut Subsidi Pelanggan 900 Va
Cabut Subsidi Pelanggan 900 Va
Selain menaikkan tarif listrik bagi 12 golongan pelanggan, pemerintah berencana menerapkan kebijakan Subsidi Tepat Sasaran dengan mencabut pemberian subsidi listrik golongan 900 Volt Amper (VA) yang masuk dalam kategori mampu.
Nantinya, subsidi akan dialihkan ke sektor lain seperti infrastruktur fasilitas listrik bagi ribuan desa yang hingga kini belum mendapatkan akses penerangan.
Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said, Rabu 27 April 2016, mengatakan ‎pencabutan subsidi tersebut merupakan upaya pemerintah menggeser pemberian subsidi dari masyarakat mampu ke masyarakat lain yang berhak mendapatkan.
"Jadi saya kira yang akan dilakukan adalah menggeser ke tempat yang lebih tepat sasaran," kata dia.
Saat ini, sebanyak 12.659 desa yang tersebar di seluruh Indonesia tercatat belum memiliki akses listrik. Dari jumlah itu, sebanyak 2.519 desa masih gelap gulita di malam hari karena termasuk golongan masyarakat itu tidak mampu.
Mayoritas desa yang belum mendapatkan pasokan listrik terletak di Papua dan kawasan timur Indonesia.
Adapun rasio elektrifikasi nasional saat ini ada di angka 87 persen. Pemerintah menargetkan rasio elektrifikasi naik menjadi 97 persen pada 2019.
Hingga kini, sebanyak 56 kabupaten masih memiliki rasio elektrifikasi masih di bawah 50 persen, dengan 46 diantaranya berada di Timur. Selebihnya ada di Kalimantan Tengah, Sulawesi Barat, Kepulauan Riau, Nias dan Mentawai.
"Ini semua menjadi tugas pemerintah dan tugas kita bersama kita untuk memberikan keadilan, dengan menyiapkan listrik bagi masyarakat di daerah-daerah terpencil tersebut," ungkap dia.
‎Sudirman melanjutkan, subsidi listrik akan digeser untuk meningkatkan rasio elektrifikasi dengan mengalirkan listrik ke daerah yang belum menikmati penerangan.
"Rasio elektrifikasi, kita punya tanggung jawab berat, karena itu perlu dilakukan dengan baik. Masalah subsidi serta sekali kalau kita geser ke masyarakat, ke yang berhak, penghematan belasan triliun. Subsidi bisa digeser ke yang belum beruntung. Tugas negara memperhatikan yang lemah memberikan dorongan yang sudah, sehingga negara punya dukungan kuat," jelas Sudirman.
Terlena Subsidi
Masyarakat Indonesia dinilai masih berperilaku boros saat menggunakan energi listrik dalam kehidupan sehari-hari. Direktur Jenderal Kelistrikan Kementerian ESDM, Jarman menilai hal ini karena tarif listrik yang murah akibat masih adanya subsidi dari pemerintah.
Jarman mengungkapkan, total energi terjual atau konsumsi listrik sepanjang 2015 mengalami kenaikan 8 persen dari realisasi sebesar 199.496 Gigawatt per Hour (GWh) di 2014. Dengan penjualan listrik pada tahun lalu mencapai 215.455 GWh.
"Tambahannya 8 persen dari total energi yang terjual di 2014. Kan kebutuhan listrik terus meningkat setiap tahunnya," ujar Jarman saat berbincang dengan Liputan6.com.
Diakui Jarman, pemakaian terbesar energi listrik berasal dari tiga kelompok, yakni golongan rumah tangga, industri, dan bisnis dengan konsumsi 70-80 persen dari total konsumsi listrik nasional.
Dari data Kementerian ESDM, kenaikan energi listrik nasional selama 5 tahun terakhir mencapai 28 persen. Paling banyak di 12 provinsi yang meningkat 22 persen dalam kurun waktu 5 tahun. Â
"Kita masih lebih boros dari Jepang, artinya untuk menghasilkan output yang sama, kita menggunakan energi yang lebih besar daripada Jepang," tutur Jarman.
Dia mengatakan, pemborosan energi listrik seperti menjadi gaya hidup masyarakat Indonesia setelah sekian lama. Masyarakat, dianggap terlena dengan subsidi listrik yang diberikan pemerintah setiap tahun sehingga tidak membudayakan hemat energi.
"Dulu, tarif listrik kita murah karena disubsidi pemerintah bukan karena harganya. Masyarakat tidak punya dorongan untuk berhemat dan itu terbawa terus sampai sekarang. TV nyala padahal tidak ditonton, peralatan elektronik menggunakan yang boros listrik," jelasnya.
Oleh karena itu, lanjutnya, pemerintah mulai melakukan reformasi fiskal mengurangi subsidi listrik dan membenahi penyaluran subsidi supaya lebih tepat sasaran.
"Kalau harga listrik sudah pada keekonomian, masyarakat diharapkan jadi lebih berpikir ulang untuk boros listrik," kata Jarman.
Advertisement
Orang Kaya Penikmat Subsidi Listrik
Orang Kaya Penikmat Subsidi Listrik
Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) menyatakan, saat ini lebih banyak orang kaya yang menikmati subsidi listrik ketimbang masyarakat kurang mampu. Karena itu pemerintah ingin menerapkan subsidi tepat sasaran.
Sekretaris Eksekutif TNP2K Bambang Widianto mengatakan,‎ subsidi listrik saat ini sama seperti kondisi subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) sebelum dicabut. Orang yang tidak berhak mendapat subsidi malah menikmati subsidi paling besar.
"Pada waktu subsidi, BBM subsidi diberikan pada komoditas. Pada BBM itu sendiri jadinya orang yang tidak berhak menerima subsidi mendapat subsidi. Subsidi yang pernah Rp 180 triliun hampir setengahnya dinikmati 20 persen orang kaya," ‎kata Bambang, di Jakarta, Rabu 27 April 2016.
Bambang mengungkapkan, dari golongan pelanggan 900 Volt Ampere (VA) kelompok kaya yang menikmati subsidi paling banyak, ketimbang masyarakat miskin dan rentan miskin.
"Sama kayak listrik. Yang 40 persen terbawah (kelompok rentan miskin) hanya terima subsidi 26 persen. Justru yang kaya dapat 2,5 kali lebih banyak," ujar Bambang.
Bambang melanjutkan, saat ini ada dua golongan pelanggan yang mendapat subsidi, yaitu golongan 450 VA dan 900 VA. Namun golongan 450 VA hanya mendapat subsidi sekitar Rp 60 ribu per bulan, sedangkan 900 VA yang didominasi orang kaya Rp 101 ‎ribu per bulan.
"Ini orang kaya lebih banyak menerima subsidi, kalau seperti ini rasanya kurang pas," tegas Bambang.
Karena itu, pemerintah ingin menertibkan penyaluran subsidi agar tepat sasaran dengan mencabut subsidi listrik untuk pelanggan golongan 900 Va yang masuk dalam kategori mampu.‎
Berdasarkan data yang dihimpun, jumlah golongan pelanggan 900 VA mencapai 22,3 juta, sedangkan yang masuk kategori miskin hanya 4 juta, artinya ada 18 juta rumah tangga yang akan dicabut subsidinya.
"Kenapa subsidi listrik harus dikurangi pemerintah tidak anti subsidi, tapi subsidi perlu tepat sasaran,"‎ tutur Bambang. (Pew/Fik/Nrm/Zul)
Â