Liputan6.com, Jakarta - Kontroversi pembangunan proyek reklamasi 17 pulau di Teluk Jakarta kian sengit. Konstruksi pulau buatan seluas 5.113 hektare (ha) ini ditengarai berdampak besar terhadap keberlanjutan ekosistem laut di sekitarnya.
Namun paling parah mengancam lenyapnya beberapa pulau yang masuk dalam gugusan Kepulauan Seribu dan Banten.   Â
Balitbang Kementerian Kelautan dan Perikanan telah melakukan analisis dan pengamatan menggunakan citra optis, satelit radar dan satelit AIS baru-baru ini. Rencana pekerjaan reklamasi Teluk Jakarta akan membentuk dan menghasilkan 17 pulau baru di Utara Jakarta, yakni dari pulau A sampai Q.
Peneliti Balitbang Kementerian Kelautan dan Perikanan, Aulia Riza Farhan mengungkapkan, hasil analisis tersebut menunjukkan pembangunan reklamasi telah berlangsung untuk pulau C, D, L, N, dan P.
Â
Advertisement
Baca Juga
"Yang paling pesat kemajuannya pulau C dan D sudah ‎hampir kelar 100 persen. Kedua pulau ini seharusnya ‎dibangun terpisah, tapi pada kenyataannya jadi satu atau nyambung," tegas Aulia saat berbincang dengan Liputan6.com di Jakarta, seperti ditulis Jumat (6/4/2016).
Untuk diketahui, pulau C dan D merupakan bagian dari pulau A sampai E yang dikerjakan PT Kapuk Naga Indah dengan luas pulau mencapai 1.331 ha.
Kapuk Naga Indah adalah anak usaha dari PT Agung Sedayu yang terseret dalam kasus dugaan tindak pidana pemberian hadiah terkait pembahasan rancangan peraturan daerah (Raperda) Pantai Utara Jakarta.
Aulia membeberkan, pelanggaran dalam mengeksekusi pembangunan pulau C dan D dari sebelumnya terpisah menjadi satu dapat berakibat fatal, khususnya bagi kehidupan hutan lindung yang dipenuhi mangrove di ‎sekitar pulau reklamasi tersebut.
"Kalau dibangun nyambung, pola arus sungai akan tertutup. Seharusnya ada pola arus untuk mangrove, karena mangrove kan butuh air. Nah kalau laut jadi dangkal akibat banyak pasir, tanaman mangrove bisa mati. Jadi jelas ini mengancam hutan lindung," tegasnya.
Parahnya lagi, dia mengungkapkan pembangunan pulau buatan ini membutuhkan pasir-pasir laut sebagai bahan baku reklamasi. Pasir tersebut diangkut dengan kapal-kapal besar berukuran lebih dari 1.000 Gross Ton (GT) dengan volume penyedotan ratusan ribu kubik pasir.
Sebagai contoh, pulau D yang sudah dimulai pengerjaannya pada 2012 dengan bantuan kapal pengangkut pasir SAGAR MANTHAN, VOLVOX ASIA, dan VOX MAXIMA, serta dibantu kapal utiliti DN 30. Begitupula dengan pembangunan pulau C.
Reklamasi pulau G milik Kementerian Perhubungan dimulai pada 2015 dengan dibantu kapal utiliti ORION WB2 dan menggunakan kapal pengambil pasir VOX MAXIMA.
Kemajuannya telah mencapai 3,9 kilometer persegi (km2). Pulau L dibangun mulai 2012, pulau N pada 2013 dan pulau P dimulai 2012.
Aulia menjelaskan, hasil analisis satelit AIS, ada 6 lokasi penyedotan pasir oleh kapal pengangkut pasir untuk kebutuhan reklamasi, yakni Sebelah Utara Pulau Tunda, Banten; Sebelah Selatan Pulau Tunda; dan sekitar perairan Teluk Jakarta atau Kepulauan Seribu.
"Lokasi pengambilan pasir di Pulau Tunda, di bagian Utara dan Selatan (ada 3 lokasi). Kalau di Kepulauan Seribu, ngambil pasirnya di dekat Pulau Bidadari dan Pulau Untung Jawa, Pulau Rambut," ujarnya.
Diakui dia, kapal-kapal pengangkut pasir menyedot pasir dari dasar laut di dekat pulau-pulau tersebut.
Menggunakan sambungan pipa-pipa besar, kapal itu dapat langsung mengambil dan menyalurkan pasir tersebut ke lokasi reklamasi apabila jaraknya dekat. Jika jauh, kapal akan mengangkutnya sambil bergerak, layaknya vacum cleaner.
"Jadi bisa dibayangkan kalau dalam 360 hari, mereka sedot pasir selama 250 hari dan ratusan ribu kubik, itu lama-lama pulau bisa amblas dan akhirnya hilang. Yang berpotensi tenggelam ada empat pulau, Pulau Tunda, Pulau Bidadari, Pulau Rambut, dan Pulau Untung Jawa," tegas Aulia. (Fik/Ndw)