Liputan6.com, Jakarta - Bank Indonesia (BI) mengumumkan bahwa posisi cadangan devisa Indonesia pada akhir April 2016 tercatat sebesar US$107,7 miliar, Nilai tersebut naik US$ 200 juta atau kurang lebih Rp 2,62 triliun (estimasi kurs: 13.125 per dolar AS) jika dibandingkan dengan posisi sebulan sebelumnya. Pada akhir Maret 2016, posisi cadangan devisa Indonesia tercatat US$ 107,5 miliar.
Direktur Departemen Komunikasi Bank Indonesia Arbonas Hutabarat dalam keterangannya menjelaskan, peningkatan nilai cadangan devisa tersebut dipengaruhi penerimaan cadangan devisa yang terutama berasal dari hasil lelang Surat Berharga Bank Indonesia (SBBI) dan penerimaan lainnya.
"Penerimaan tersebut melampaui kebutuhan devisa, yang antara lain digunakan untuk pembayaran utang luar negeri pemerintah," tegas dia, Selasa (10/5/2016).
Baca Juga
Posisi cadangan devisa per akhir April 2016 tersebut cukup untuk membiayai 7,8 bulan impor atau 8,1 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor.
Bank Indonesia menilai cadangan devisa tersebut mampu mendukung ketahanan sektor eksternal dan menjaga kesinambungan pertumbuhan ekonomi Indonesia ke depan.Â
BI juga menyebutkan bahwa stabilitas sistem keuangan tetap terjaga, ditopang oleh ketahanan sistem perbankan dan kinerja pasar keuangan yang semakin baik. Pada Februari 2016, rasio kecukupan modal (Capital Adequacy Ratio/CAR) tercatat sebesar 21,7 persen, sementara rasio kredit bermasalah (Non Performing Loan/NPL) berada di kisaran 2,9 persen (gross) atau 1,5 persen (net).
Dari sisi fungsi intermediasi, pertumbuhan kredit tercatat sebesar 8,2 persen (yoy), menurun dari pertumbuhan bulan sebelumnya sebesar 9,6 persen (yoy).
Sementara itu, pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) pada Februari 2016 tercatat sebesar 6,9 persen (yoy), relatif sama dengan pertumbuhan bulan sebelumnya sebesar 6,8 persen (yoy). Di sisi lain, pelonggaran kebijakan moneter melalui penurunan BI Rate dan GWM Primer mulai berdampak pada membaiknya likuiditas dan penurunan suku bunga perbankan.
Kondisi tersebut diharapkan dapat meningkatkan efektivitas kebijakan moneter dalam mendorong pertumbuhan kredit perbankan ke depan. (Yas/Gdn)