Liputan6.com, Jakarta - Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi) memprediksi program Pembangunan Sejuta Rumah akan mandek.
Selain itu mungkin gagal kalau dana Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) benar-benar akan digabung ke dalam dana Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). Alasannya Tapera belum berjalan, dan setidaknya butuh dua tahun lalu agar Tapera bisa berjalan efektif.
"Harus dipertimbangkan dengan hati-hati. Jangan sampai kebijakan (penggabungan) tersebut justru akan membuat pasokan rumah rakyat terhenti seperti yang terjadi pada 2012 ketika Kementerian Perumahan Rakyat menyetop penyaluran FLPP," kata Ketua Umum DPP Apersi, Eddy Ganefo kepada Liputan6.com, Rabu (11/5/2015).
Advertisement
Apersi berharap Kementerian Keuangan dapat membatalkan surat tersebut, atau Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) menolak permintaan Kemenkeu tersebut karena tidak sejalan dengan upaya pemenuhan Sejuta Rumah yang diamanahkan Presiden Joko Widodo.
Baca Juga
Eddy berpendapat, harus dipisahkan antara FLPP dan Tapera. Menurut dia, FLPP itu adalah bentuk kewajiban pemerintah kepada seluruh warga yang memenuhi persyaratan.
Pemerintah wajib memberi kemudahan akses dan pembiayaan perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Sementara Tapera adalah pengumpulan dana publik yakni pekerja sehingga dana tersebut hanya dapat diberikan kepada anggota peserta Tapera.
"Kalau dana FLPP masuk Tapera, bagaimana dengan mereka yang tidak masuk menjadi peserta Tapera?," tanya Eddy.
Dia menuturkan, seharusnya FLPP tetap berdiri sendiri dan berjalan seperti sekarang ini dengan menyediakan subsidi selisih bunga, dan bantuan uang muka.
Karena FLPP ini tunduk kepada UU No 1 tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) sebagai bentuk kewajiban pemerintah kepada rakyat berpenghasilan rendah. Sedangkan Tapera merujuk pada UU No 4 tahun 2016 tentang Tapera.
Pemerintah, kata Eddy, justru sebaiknya memperkuat FLPP dengan memperluas cakupan subsidi hingga masyarakat berpenghasilan rendah di sektor informal seperti pedagang kaki lima dan pedagang pasar yang selama ini belum tersentuh kehadiran pemerintah untuk mendapatkan rumah layak huni.
"Kami melihat pemahaman Kementerian Keuangan kurang bisa memahami filosofi dua regulasi ini yaitu UU PKP dan UU Tapera," ujar dia.
Kementerian PUPR dalam hal ini Ditjen Pembiayaan Perumahan harus tegas menolak penggabungan tersebut.
Karena jika disetujui justru akan merugikan pencapaian target-target Kementerian PUPR di bidang perumahan rakyat. Bahkan realisasi program sejuta rumah tahun ini diprediksi bakal drop.
Bahkan sekarang saja realisasi sejuta rumah sudah terpengaruh dengan pengetatan kebijakan oleh pemerintah dengan berbagai syarat yang menyebabkan bank mengerem akad KPR subsidi.
Pengetatan itu antara lain kewajiban infrastruktur jalan harus sudah tersedia termasuk aliran listrik sudah menyala.
"Ini saja sudah banyak menghambat penyaluran FLPP. Padahal kalau perumahan baru sudah pasti jalan belum dibangun yang bagus, apalagi listrik. Tapi jalan pasti dibangun, dan tidak mungkin rumah dibiarkan tanpa listrik," keluh Eddy. (Muhammad Rinaldi/Ahm)