Sukses

Ini Akibatnya Jika RUU Migas Tak Segera Disahkan

Sampai hari ini, tidak ada perkembangan yang signifikan dari pembahasan RUU Migas.

Liputan6.com, Jakarta - Pembahasan Rancangan Undang-undang atas Perubahan Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas (Migas) selama 6 tahun jalan di tempat. Akibat maju mundurnya pengesahan payung hukum tersebut, investasi asing di sektor migas turun drastis, terutama di sektor hulu.

Ketua Badan Pengarah Publish What You Pay Indonesia (PWYP), Fabby Tumiwa mencatat sejak 2010, agenda RUU Migas selalu menghias daftar tahunan Program Legislasi Nasional (Prolegnas) DPR RI, termasuk pada tahun ini. Namun faktanya sampai hari ini, tidak ada perkembangan yang signifikan dari pembahasan RUU Migas.

"Kami menilai ada semacam kekuatan tidak terlihat, pemburu rente yang mempengaruhi anggota KomisiVII DPR RI sehingga fraksi atau partai enggan mengeluarkan sikapnya terkait RUU Migas ini karena lebih menguntungkan buat mereka (pemburu rente) jangan sampai diubah," tegasnya saat konferensi pers di Jakarta, Minggu (29/5/2016).

Lebih jauh dijelaskan Fabby, padahal RUU Migas ini sangat penting dibahas dengan memasukkan berbagai isu kunci, yakni perencanaan pengelolaan migas, model kelembagaan hulu migas yang memungkinkan adanya proses check and balances, Badan Pengawas, BUMN pengelola, petroleum fund.

Isu lainnya soal domestic marker obligation, dana cadangan, cost recovery, participating interest, dan perlindungan atas dampak kegiatan migas, serta reformasi sistem informasi dan partisipasi.

"Dibatalkan terus pembahasan RUU Migas menimbulkan ketidakpastian hukum dan aturan bagi investor, khususnya di sektor hulu, seperti eksplorasi sumur migas. Lihat saja sejak 2011, produksi migas kita turun terus, karena pemilik blok migas lebih baik menunggu kepastian," tegas pengamat energi ini.

Diakuinya, investasi di sektor migas cenderung mengalami kenaikan di periode 2009-2013, baik di eksplorasi, pengembangan, produksi, dan administrasi. Namun kemudian di sektor hulu eksplorasi migas, investasinya semakin menciut. Bahkan 13 wilayah kerja pertambangan yang ditawarkan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (EDM) ditampik perusahaan migas.

"Eksplorasi migas di 2014-2015 turun terus, hanya sepertiga atau 70 lebih sumur realisasinya dari 200 lebih sumur migas. Sedangkan di tahun lalu, rencana Pertamina mengeksplorasi 100 sumur, yang tercapai hanya 20 sumur. Sedikit sekali kan," Fabby menuturkan.

Parahnya lagi, diakui Direktur Eksekutif IESR itu juga mengaku, pemilik blok migas asing di Indonesia sudah menjual asetnya akibat ketidakpastian hukum di Tanah Air. Investor, sambung Fabby enggan mengambil risiko akbat ketidakpastian tersebut.

"Indonesia jangan kepedean, yang produksi dan punya potensi minyak bukan cuma kita. Tapi karena tidak menarik lagi buat investor, mereka akhirnya menjual asetnya di Indonesia dan memilih investasi di negara lain. Lelang wilayah kerja pertambangan pun tidak laku, itu mengindikasikan investasi tidak menarik lagi di Indonesia," papar Fabby.

Atas dasar itulah, Koalisi Masyarakat Sipil PWYP mendesak DPR untuk segera membahas RUU Migas. Manager Advokasi dan Jaringan PWYP Indonesia, Aryanto Nugroho menambahkan, pembahasan RUU Migas menjadi semakin mendesak di tengah berbagai inisiatif yang dilakukan berbagai pihak dalam mendorong reformasi perbaikan tata kelola sektor migas.

"Juga reformasi perizinan migas di ESDM atau Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) maupun atas rekomendasi Tim Reformasi Tata Kelola Migas. Inisiatif-inisiatif itu harus didukung reformasi payung hukum melalui pembahasan RUU Migas," kata Aryanto.