Liputan6.com, Jakarta - Membangun pembangkit listrik tidak semudah membalik telapak tangan. Banyak tantangan yang harus dilewati oleh pemerintah agar mampu merealisasikan pembangunan pembangkit listrik. Karena berbagai rintangan tersebut, pemerintah sebelumnya hanya mampu menambah pasokan listrik kurang lebih 10 ribu megawatt (MW) dalam 10 tahun.
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya, Rizal Ramli menjelaskan, pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), pemerintah hanya mampu membangun pembangkit listrik dengan kapasitas 10.200 MW. Pencapaian yang tak besar tersebut tidak terlepas dari berbagai kendala yang dihadapi, mulai dari perjanjian jual beli listrik, pengadaan lahan, dan lainnya.
“Kalau kita bisa membangun listrik 17 ribu-18 ribu MW sampai 2019 ini prestasi yang luar biasa sebab pemerintahan SBY cuma bangun 10.200 MW selama 10 tahun,” ujar Rizal saat ditemui di kantor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Jakarta, Selasa (31/5/2016).
Dia menjelaskan, masalah pertama yang dihadapi pemerintah pada waktu itu adalah persoalan negosiasi Power Purchase Agreement (PPA) yang memakan waktu hingga 4 tahun. Namun saat ini, proses negosiasi tersebut telah diperpendek. PT PLN (Persero) selaku pembeli listrik dari swasta telah memperpendek proses sehingga hanya membutuhkan waktu negosiasi rata-rata 6 bulan.
Baca Juga
“Negosiasi PPA bisa sampai 4 tahun, kan luar biasa konyol. Inilah yang membuat proyek listrik di Indonesia lama sekali,” ucapnya.
Kedua, pengadaan lahan. Dalam hal ini, sambung Rizal, pemerintah daerah kurang membantu penyediaan tanah untuk kepentingan proyek kelistrikan. Padahal di sisi lain, pemerintah daerah selalu mengeluhkan soal akses listrik di wilayahnya masing-masing. Di samping itu, proses pembebasan tanah melalui 9 tahapan selama 9 tahun, dan kini semakin dipermudah hanya 4 tahapan selama 9-10 bulan.
“Hambatan ketiga, masalah tarif listrik. Dulu, tarif listrik dari pembangkit batu bara seharga US$ 5-US$ 6 sen per Kwh. Harga itu tidak menarik karena return kecil dalam dolar AS. Jadi banyak yang mau ikut bangun proyek, tapi tidak maksimal karena harga tidak menarik. Nah pemerintah sudah fleksibel memberikan haga harga US$ 8 per Kwh,” jelasnya.
Rizal menambahkan, kendala keempat yakni energi terbarukan. Sayangnya untuk mendiversifikasi energi dari batu bara ke energi terbarukan, investor kurang tertarik lantaran tarif yang terlalu rendah. Sementara risiko dan biaya operasional yang harus ditanggung lebih tinggi.
“Masalah kelima soal garansi dari pemerintah dan keenam, persoalan ekuitas. Dalam membangun proyek listrik, ekuitas yang harus disediakan 30 persen, tapi banyak yang tidak punya ekuitas sebanyak itu. Jadi harus menunggu,” cetusnya.
Oleh karena itu, diharapkan Rizal, Indonesia perlu realistis memasang target pembangunan pembangkit listrik 35 ribu Mw. Sehingga estimasi paling masuk akal diperkirakan hanya terealisasi 17 ribu-18 ribu Mw hingga 2019. “Jadi sekarang waktunya revolusi mental. Jangan menawarkan mimpi dan ilusi, tapi memberikan solusi. Jangan cuma Asal Bapak Senang,” sindirnya.