Liputan6.com, Jakarta - Aturan kewajiban pelaporan data transaksi kartu kredit nasabah oleh pihak perbankan kepada Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak menuai kontroversi. Dampaknya bahkan sudah menggerus nominal transaksi belanja nasabah hingga penutupan kartu kredit.
Ditjen Pajak seolah menutup mata atas permasalahan tersebut, karena pemerintah mempunyai alasan kuat untuk menjalankan kebijakan ini.
Dari keterangan resmi Ditjen Pajak yang diterima, Rabu (8/6/2016), ada 9 alasan Unit Eselon I Kementerian Keuangan ini tetap mengintip data transaksi kartu kredit nasabah.
Pertama, data-data nasabah terkait transaksi kartu kredit yang dilaporkan kepada Ditjen Pajak hanya digunakan untuk tujuan perpajakan semata-mata dan tidak untuk tujuan yang lain.
Sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku Ditjen Pajak memiliki kewajiban untuk menjaga kerahasiaan dan keamanan data yang diterima dari pihak lain.
Advertisement
Baca Juga
Kedua, data transaksi kartu kredit akan dimanfaatkan untuk mengawasi kepatuhan perpajakan, yaitu sebagai pembanding atas data penghasilan yang dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan (SPT PPh).
Sepanjang seluruh penghasilan pengguna kartu kredit telah dilaporkan dengan benar, jelas dan lengkap, dan tagihan kartu kredit masih dalam kewajaran penghasilan tersebut, maka tidak akan terdapat masalah terkait perpajakan pengguna kartu.
Ketiga, dalam hal transaksi kartu kredit secara konsisten melebihi kewajaran penghasilan yang dilaporkan dalam SPT, namun transaksi memang tidak terkait dengan penggunaan penghasilan, misalnya untuk keperluan kantor atau orang lain, petugas pajak tidak akan serta merta menetapkan pajak atas ketidakwajaran transaksi kartu kredit.
Keempat, penetapan pajak akan didahului dengan permintaan klarifikasi, konseling dan himbauan pembetulan SPT, sebelum ditindaklanjuti dengan pemeriksaan pajak.
Pada setiap langkah tersebut, Wajib Pajak pengguna kartu kredit akan diberikan kesempatan untuk mengklarifikasikan bahwa penggunaan kartu kredit tidak terkait dengan penghasilannya.
Kelima, data transaksi kartu kredit hanya satu dari ratusan jenis data yang wajib disampaikan oleh 67 institusi kepada Ditjen Pajak.
Pelaporan data termasuk data kepemilikan kendaraan bermotor, IMB, kepemilikan hotel atau restoran dan ijin usaha telah berjalan beberapa tahun dan sampai dengan saat ini tidak terdapat permasalahan yang berarti terhadap kepemilikan kendaraan bermotor, pemohon IMB dan pemilik ijin usaha.
Alasan keenam, pelaporan data kartu kredit kepada otoritas pajak merupakan praktek yang sudah lama terjadi di negara lain seperti Jepang dan Korea, bahkan sudah mencakup data simpanan (tabungan dan deposito) tanpa adanya dampak negatif terhadap sektor keuangan dan perbankan.
Oleh karena itu, kekhawatiran akan terjadinya penurunan penggunaan dan transaksi kartu kredit dalam jangka panjang adalah kekhawatiran yang tidak berdasar.
Ketujuh, Indonesia saat ini sedang menuju era keterbukaan keuangan dan perbankan untuk tujuan perpajakan dengan komitmen untuk melaksanakan Automatic Exchange of Information pada 2018. Dalam era ini, penyampaian data transaksi keuangan dan perbankan kepada otoritas pajak akan menjadi sesuatu yang lazim.
Kedelapan, kontroversi penyampaian data kartu kredit kepada Ditjen Pajak saat ini merupakan sarana pembelajaran bagi semua pihak untuk menjadi lebih sadar dan patuh pajak dalam menyongsong era keterbukaan keuangan dan perbankan untuk tujuan perpajakan.
Kesembilan, pajak merupakan sumber utama penerimaan Negara dan untuk itu Ditjen Pajak mengajak seluruh masyarakat untuk mengambil bagian bergotong royong dalam mendanai pembangunan nasional dengan menghitung, membayar dan melaporkan pajak secara jujur dan benar. (Fik/Ndw)