Liputan6.com, Jakarta - Wakil Gubernur Jawa Barat Deddy Mizwar menganggap kenaikan harga daging sapi justru menjadi peluang bagi komoditas lain. Di Indonesia, jika harga daging sapi naik bisa digantikan dengan protein hewani lain.
Deddy menjelaskan masyarakat mengkonsumsi daging sapi karena untuk memenuhi kebutuhan protein hewani. Jika dilihat sebagai fungsi tersebut, seharusnya daging sapi bisa digantikan atau disubtitusi dengan daging lain seperti daging kambing atau daging domba.
"Sapi memang masih kurang di Jawa Barat, kami punya domba atau kambing banyak. Saya berkali-kali mengatakan, kalau ingin ketahanan pangan khususnya daging maka tidak harus sapi. Kita punya daging kambing, domba, kelinci, ikan, ada ayam," kata dia di Gedung Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Jakarta, seperti ditulis Rabu (22/6/2016).
Advertisement
Deddy mengatakan karena ada komponen substitusi, seharusnya daging sapi bukan menjadi isu utama. Daging kambing tak kalah bagusnya dengan daging sapi.
"Siapa yang mengajarkan bangsa kita makan daging sapi sementara para nabi memerintahkan untuk menggembala kambing, bukan menggembala sapi. Menggembala sapi itu koboi," ujar dia.
Deddy melanjutkan, keunggulan daging kambing ialah ketersediaan yang berkelanjutan. Selama ini, belum pernah terjadi krisis daging kambing. "Kita tidak pernah krisis daging kambing dan domba. Kita boleh swasembada sapi, mungkin tidak cepat tapi bertahap. Mungkin itu buat rendang, kalau kambing untuk rendang hancur," kata dia.
Baca Juga
Sebelumnya pada 18 Juni 2016, Menteri Perdagangan Thomas Lembong buka-bukaan soal akar masalah tingginya harga daging sapi. Menurut dia, mahalnya harga daging saat ini merupakan akumulasi dari kebijakan pemerintah mengurangi impor sapi bakalan sejak tahun lalu.
Thomas menyatakan sebenarnya kenaikan harga daging sapi ini sudah terjadi sejak tahun lalu. Bahkan, kenaikan tersebut terbilang signifikan, yaitu sebesar 30 persen.
"Tingginya harga daging sebenarnya terjadi di pertengahan tahun lalu. Lonjakan daging yang dahsyat terjadi di tahun lalu, melonjak 25 persen-30 persen. Sejak itu harga tidak pernah turun. Tahun ini hanya naik 6 persen," ujar dia di Jakarta, Sabtu (18/6/2016).
Thomas mengungkapkan lonjakan harga pada tahun lalu disebabkan kebijakan pemerintah yang mengurangi importasi sapi bakalan. Jika biasanya pemerintah mengeluarkan izin impor bakalan sebesar 160 ribu ekor per kuartal, pada tahun lalu pemerintah menurunkan volume izin impor tersebut menjadi 50 ribu ekor.
Kemudian kondisi tersebut semakin diperparah dengan terlambatnya izin impor sapi bakalan yang dikeluarkan pada tahun ini. Hal tersebut membuat pasokan menipis, sementara kebutuhan terus mengalami lonjakan, khususnya selama Ramadan.
"Kami memperburuk situasi karena ini ditambah lagi dengan kami yang lambat mengeluarkan izin sapi impor pada awal tahun yang harusnya ada 650 ribu ekor di depan supaya pelaku bisa atur timing-nya. Ini hanya 150 ribu ekor," kata dia.
Akumulasi kebijakan pemerintah ini yang dinilai menjadi pangkal masalah dari tingginya harga daging sapi. Bahkan, kelangkaan daging sempat terjadi pada April-Mei lalu.
"Ini istilahnya sapi bakalan, masih kurus harus lewati proses penggemukan, biasanya 4 bulan. Tapi dengan sangat minimnya impor sapi bakalan, akhirnya terjadi kelangkaan sampai sekarang. Makanya harga tetap tinggi. Kelangkaan paling terasa itu di April-Mei," tutur dia.
Dia mengatakan, pada November tahun lalu pemerintah telah sepakat untuk membuka keran impor sapi bakalan sebanyak 650 ribu ekor di awal tahun ini. Namun kenyataannya, izin impor yang diberikan hanya untuk 150 ribu ekor. "November tahun lalu sepakat untuk keluarkan impor sapi 650 ribu ekor. Itu bukti ketidakbecusan kami," ujar dia.