Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menampik tuduhan beberapa pihak yang menyatakan Undang-Undang Pengampunan Pajak (UU Tax Amnesty) melanggar, bahkan melecehkan konstitusi alias Undang-undang Dasar (UUD) 1945.
Payung hukum tersebut dirancang melalui tahapan-tahapan yang sesuai dengan ketentuan berlaku dan mempertimbangkan segala aspek.
Sekretaris Jenderal (Sekjen) Kemenkeu, Hadiyanto mengungkapkan gugatan atas UU Tax Amnesty ke Mahkamah Konstitusi (MK) merupakan hak setiap orang, baik mengatasnamakan kepentingan pribadi maupun kelompok.
"Gugatan (UU Tax Amnesty) bukan sesuatu yang istimewa. Itu adalah hak setiap orang, cara orang melihat satu UU dan mengajukannya ke MK. Setiap orang dengan keyakinannya bisa saja menggugat," ucap Hadiyanto saat berbincang dengan Liputan6.com di kantornya, Jakarta, Rabu (13/7/2016).
Advertisement
Baca Juga
Dia menegaskan, proses penyusunan UU Tax Amnesty sudah melalui tahapan yang benar. Sambungnya, terdiri dari tahapan penyusunan secara akademis, sosialisasi, dengar pendapat dengan berbagai kalangan, serta melewati proses pembahasan bersama DPR dalam kurun waktu cukup panjang.
"Dari segi proses, penyusunan UU Tax Amnesty sudah jelas sesuai ketentuan, khususnya yang berkaitan dengan penyusunan perundang-undangan. Jadi bertentangan dengan konstitusi yang mananya?," tutur Hadiyanto.
Pemerintah dalam hal ini Kemenkeu, Ia menambahkan, merancang program pengampunan pajak untuk seluruh masyarakat Indonesia, baik yang sudah terdaftar sebagai Wajib Pajak (WP) maupun yang belum. Baik untuk orang kaya hingga golongan bawah, perusahaan besar sampai level Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM).
"Tax amnesty berlaku untuk setiap orang, jadi dari aspek keadilan seperti yang digugat, kita tidak pandang bulu kok. WP besar, WP Orang Pribadi, UMKM, WP Badan, semua berhak ikut pengampunan pajak. Tidak ada diskriminasi dalam konteks itu," tegas Ketua Wakil Pemerintah dalam Panja RUU Tax Amnesty itu.
Hadiyanto menjelaskan, banyak Warga Negara Indonesia (WNI) yang belum menjalankan kewajiban perpajakan dengan lengkap dan benar. Dengan kata lain, UU tax amnesty memberi kesempatan kepada setiap orang mendapatkan pengampunan pajak.
"Tax amnesty kali ini akan menjadi tax amnesty yang terakhir. Tidak ada lagi nanti tax amnesty berikutnya. Jadi momentumnya sangat tepat meluncurkan sekarang," ujar Hadiyanto.
Pertama, dia beralasan, tax amnesty dibutuhkan saat perkembangan ekonomi dunia tengah mengalami perlambatan. Dalam hal ini, pemerintah perlu bekerja keras mengumpulkan penerimaan negara selain dari sumber tradisional, seperti pajak, bea dan cukai, serta Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP).
"Ada sumber yang belum tergali, masih ada WP yang belum melapor pajak dengan benar. Karena tujuan tax amnesty ada repatriasi dana untuk mendorong pertumbuhan ekonomi nasional, meningkatkan likuiditas di dalam negeri, memperkuat kurs Rupiah, perbankan dapat menyalurkan kredit lebih luas," jelas dia.
Tujuan berikutnya, Hadiyanto menerangkan, untuk meningkatkan basis data perpajakan. Dia mengingatkan, tax amnesty di Indonesia terakhir kali pada 1984. Ketika itu, kesadaran masyarakat menyetorkan pajak masih rendah, sistem informasi teknologi belum canggih, dan komitmen dunia terhadap keterbukaan informasi perpajakan masih minim.
"Tapi sekarang ada komitmen Automatic Exchange of Information (AEoI), jadi sebelum itu berlaku, manfaatkan tax amnesty karena tidak akan ada lagi tax amnesty berikutnya," ujar Hadiyanto.
Yang tak kalah penting, dia bilang, program pengampunan pajak akan meningkatkan penerimaan pajak. Kemenkeu memproyeksikan setoran pajak yang bersumber dari uang tebusan tax amnesty, baik deklarasi harta maupun repatriasi dana mencapai Rp 165 triliun.
"Dengan penerimaan pajak Rp 165 triliun dari tax amnesty, ketahanan fiskal makin besar. Kita bisa belanja infrastruktur, melakukan kegiatan produktif untuk pendidikan, sosial, dan lainnya," kata Hadiyanto. (Fik/Ahm)
*Ingin mendapatkan informasi terbaru tentang Ramadan, bisa dibaca di sini.