Liputan6.com, Jakarta - Jauh sebelum bisa sukses seperti sekarang ini, Direktur Utama PT Pertamina Dwi Soetjipto sempat merasakan masa sulit dan dipandang sebelah mata. Sejak itu ia bertekad untuk mengubah semua ketidakmungkinan menjadi mungkin dan menjadi orang sukses.
Berangkat dari keluarga yang tidak mampu secara ekonomi, setiap tahun Dwi Soetjipto harus selalu mengurus surat keterangan miskin untuk tetap bisa melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi.
”Saya selalu bolak-balik untuk mengurus surat tidak mampu agar mendapat potongan biaya sekolah hingga 50 persen. Itu saya lakukan hingga lulus SMA,” ujarnya.
Advertisement
Di lingkungan ia tinggal di Kota Surabaya bagian Utara, banyak yang menganggap tak mungkin ada warganya yang berasal dari kampung itu mampu berkuliah di Institut Teknologi Sepuluh November. Tapi dengan penuh keyakinan Dwi bisa kuliah universitas tersebut.
”Masuk kuliah saya sudah mulai berpikir untuk mencari beasiswa. Akhirnya itu bisa tercapai dengan usaha dan ketekunan saya untuk bisa diterima di universitas impian saya,” tuturnya.
Baca Juga
Setelah berkuliah, Pak Tjip, begitu panggilannya, mulai masuk ke lingkungan baru dan cepat beradaptasi. Itu juga yang menjadikan dia sukses seperti sekarang.
“Waktu saya kuliah di ITS, dengan kesibukan sebagai mahasiswa pada saat itu, saya berusaha untuk cepat beradaptasi. Salah satunya dengan menjadi panitia sukarela di acara kampus, hingga saya diajak bergabung dalam organisasi dan menjadi senat mahasiswa pada saat itu,” ujar pria yang pernah menjabat sebagai bos Semen Padang itu.
Setelah lulus, Soetjipto meniti karier hingga bekerja di industri semen. Pada akhirnya Dwi dipercaya menjabat sebagai Direktur Utama Semen Indonesia.
"Ketika saya diberi kepercayaan untuk membangun industri semen itu, saya melihat bahwa BUMN selalu dianggap sebagai usaha negara yang kinerjanya paling rendah. Maka dari pada saat saya di Semen Padang selalu kalah dengan Indocement, baik kalah saham maupun kalah pasar dan laba,” ia menerangkan.
Ditambah lagi dengan individualis industri masing-masing yang ingin menjalankannya dengan idealis mereka. Dari situ muncul pemikiran dari Soetjipto untuk menggabungkan dan menyinergikan semua industri semen menjadi kesatuan yang solid. Itu ia mulai dari industrinya lebih dulu.
”Akhirnya saya coba bangun sinergi itu dalam perusahaan saya hingga akhirnya kita bisa bersinergi dan mampu mengubah laba dari Rp 500 miliar menjadi Rp 5,5 triliun. Bayangkan hingga 11 kali lipat hanya dalam waktu 6-8 tahun saja,” ujar pria berusia 60 tahun itu.
Jadi Dirut Pertamina
Dari situ kariernya semakin menanjak hingga akhirnya Soetjipto terpilih menjadi Direktur Utama Pertamina melalui sistem meritokrasi atau pemilihan ketua berdasarkan nilai tes tertinggi di antara kandidat lain. Perlahan-lahan ia membenahi Pertamina dan meraup laba yang didapatkan dari efisiensi beberapa masalah yang sudah menahun terjadi seperti kasus Petral.
”Dengan dibubarkannya Petral, kita berkonsentrasi pada ISC. Maka di proses pengadaan minyak dan pada tahun 2015 kita mampu mendapatkan efisiensi anggaran hingga US$ 208 juta. Itu kan lebih dari Rp 2,5 triliun. Dengan efisiensi yang lain yang dilakukan Pertamina pada tahun 2015 itu mencapai US$ 608 juta dan itu lebih dari Rp 8 triliun,” jelasnya.
Semua yang ia lakukan tidak lepas dari usahanya untuk mewujudkan apa yang dianggap mustahil oleh orang lain menjadi mungkin dan semua itu bisa dilaksanakan dengan baik. “Untuk bisa melakukan itu, semua kuncinya adalah jangan pernah bosan untuk belajar, dan jangan bosan untuk menuntut ilmu setinggi-tingginya. Karena itu adalah alasan saya untuk menempuh pendidikan hingga S3,” ujar Pak Tjip. (Nabila)