Sukses

Pengusaha Plastik Tolak Pungutan Cukai

Para pengusaha plastik menilai bahwa pungutan cukai tak efektif untuk menyelesaikan permasalahan sampah plastik di Indonesia.

Liputan6.com, Jakarta - Para pengusaha plastik menolak usul pemerintah yang akan menarik cukai untuk kemasan plastik. Para pengusaha plastik menilai bahwa langkah pemerintah tersebut tidak efektif dalam menyelesaikan permasalahan sampah plastik di Indonesia. 

Para pengusaha yang tergabung dalam Asosiasi Plastik Indonesia (Inaplas) dan Asosiasi Daur Ulang Plastik Indonesia (Adupi) menyatakan bahwa kemasan plastik tidak akan menjadi sumber masalah lingkungan, karena dapat didaur ulang.

Ketua Adupi Christine Halim menyatakan, kebijakan penarikan cukai untuk kemasan plastik justru akan merugikan industri daur ulang. “Industri saya biasa mendaur ulang kemasan plastik bekas pakai menjadi fiber yang dapat digunakan kembali.” katanya dalam acara Forum Lintas Asosiasi Industri Produsen dan Pengguna Plastik (FLAIPPP), di Jakarta, Senin (18/7/2016).

Christine menjelaskan, dengan mengenakan cukai kepada kemasan plastik, akan berdampak pada peningkatan harga sampah plastik. Saat ini, 80 persen industri makanan minuman menggunakan kemasan plastik. Dengan kebijakan tersebut maka 80 persen harga makanan dan minuman plastik akan naik

tentu saja, hal tersebut tidak hanya berimbas kepada industri plastik saja, tetapi juga kepada industri makanan-minuman. Bahkan, konsumen pun juga akan terimbas. 

Wakil ketua Inaplas Edi Rivai meragukan alasan pemerintah dalam kebijakan cukai untuk kemasan plastik ini. Bagi dia, alasan pemerintah dalam mengaitkan isu pencemaran lingkungan dengan sampah kemasan plastik tidak tepat.

“Plastik kemasan bekas pakai sekalipun jika dikelola masih dapat digunakan kembali menjadi produk lainnya, kemudian setelah dipakai dapat didaur ulang”, tambah Edi.

Rachmat Hidayat, perwakilan FLAIPPP mengatakan bahwa penerapan cukai kepada kemasan plastik tidak sesuai peraturan perundang-undangan. Menurutnya, barang kena cukai harus memenuhi beberapa syarat, yakni konsumsinya perlu dikendalikan, peredarannya perlu diawasi, pemakaiannya dapat menimbulkan efek negatif bagi masyarakat atau lingkungan hidup, dan tergolong barang-barang mahal.

Rachmat menjelaskan bahwa kemasan plastik bukan barang yang perlu dikendalikan atau diawasi, dan penggunaannya dapat berdampak negatif terhadap lingkungan hidup. “Selama ini yang diangkat pemerintah kan dampak negatif terhadap lingkungan hidup, tapi yang berdamak negatif kan pembuangan sampah kemasan plastik, bukan penggunaannya,” terang Rachmat.

Dalam forum ini juga dipaparkan bahwa kebijakan cukai kemasan plastik hanya akan merugikan saja, tetapi tidak mengurangi penggunaan plastik. Pengenaan cukai akan menurunkan permintaan minuman dalam kemasan sebesar Rp 102 triliun per tahun, dan diperkirakan pemerintah mengalami kerugian sebesar Rp 528 miliar dalam setahun.

Forum Lintas Asosiasi Industri Produsen dan Pengguna Plastik (FLAIPPP).

Edi memaparkan bahwa plastik sebagai kemasan belum memiliki alternatif pengganti hingga saat ini, baik dinilai secara ekonomis maupun aspek teknis dan lingkungan. “Plastik akan tetap digunakan dan tidak berkurang penggunaannya sebagai bagian dari kebutuhan sehari-hari”, tambah Edi. 

Berdasarkan data penelitian LAPI IPB pada 2008 lalu menjelaskan bahwa hampir seluruh kemasan plastik minuman (lebih dari 96 persen) sudah didaur ulang.

Christine bahkan menyatakan bahwa industrinya kerap kali kekurangan sampah plastik sehingga harus mengimpor sampah plastik. Rachmat Hidayat, perwakilan FLAIPP sendiri menjelaskan bahwa permasalahan sesungguhnya bukan pendaur-ulangan plastik yang belum efektif, tetapi sistem pemilahan sampah yang harus diperbaiki. (Aldo Lim)