Sukses

Jadi Komoditas Strategis RI, DPR Janji Segera Loloskan RUU Sawit

Kelapa sawit dinilai merupakan komoditas strategis bagi Indonesia.

Liputan6.com, Jakarta - Komisi IV DPR memastikan akan terus memperjuangkan lahirnya Undang Undang (UU) yang bisa melindungi industri kelapa sawit di Indonesia. Ini karena kelapa sawit merupakan komoditas strategis bagi Indonesia.

Strategis karena terkait kepentingan ekonomi, penciptaan lapangan kerja, pengentasan kemiskinan, pemerataan pembangunan di daerah, bahkan untuk konservasi lingkungan.

”Kita jangan mau dibohongi negara maju yang mempropagandakan bahwa kelapa sawit merusak lingkungan. Kita lawan kampanye negatif itu, karena sawit adalah masa depan kita,” kata Anggota Komisi IV DPR Firman Soebagyo di Jakarta, Senin (25/7/2016).

Politisi Partai Golkar ini mengatakan, di dalam RUU Perkelapasawitan yang masuk dalam Prolegnas tahun ini, beberapa poin terkait penguatan sektor kelapa sawit akan dicantumkan di dalam RUU tersebut.

Poin tersebut antara lain, Indonesia akan memiliki badan pengatur komoditas sawit yang akan menangani aspek hulu hingga hilir komoditas strategis ini. Badan ini berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden.

Badan ini nantinya bisa mengakses dana dari APBN untuk kepentingan sawit nasional. "Badan ini hampir sama dengan BP Migas atau sama ‎dengan Malaysia Palm Oil Board (MPOB) di Malaysia," ujar Firman yang juga Wakil Ketua Baleg (Badan Legislasi) DPR.

Dengan badan ini, nantinya semua produksi hingga transaksi tercatat. Regulasi kebijakan soal sawit nanti akan dibuat oleh badan ini, termasuk standardisasi sawit.

"Karena selama ini kita selalu dibenturkan dengan masalah standardisasi. Kita ini punya ISPO dan standar keberlanjutan wajib ini akan masuk dalam UU, sehingga posisinya  akan lebih kuat. Jadi nantinya buyer harus menyesuaikan standar yang dibuat Indonesia," tutur dia.

Saat ini RUU tersebut sedang dalam tahap penyempurnaan naskah akademik dan sudah disepakati masuk dalam Prolegnas 2016. Ditargetkan pada Maret-April 2017 RUU tersebut sudah bisa diundangkan. 

Menurut Firman, kehadiran UU yang khusus mengatur komoditas sawit sudah sangat mendesak di Indonesia. Sebab ‎secara realita sawit telah memberikan kontribusi sedikitnya Rp 300 triliun pada 2015, naik dari tahun sebelumnya Rp 250 triliun, baik berupa devisa ekspor, pajak, maupun kontribusi lainnya. Angka ini jauh lebih tinggi dari sektor migas yang saat ini cadangannya terus menurun, namun telah memiliki regulasi tersendiri.

Selain itu, Indonesia merupakan produsen dan pengekspor minyak sawit terbesar, namun sawit di pasar internasional menjadi bulan-bulanan negara penghasil minyak nabati lainnya dengan terus menerus menggaungkan kampanye hitam atas sawit.

‎Menurut Firman, salah jika ada yang menilai RUU ini hanya akan melindungi korporasi besar. Justru, dengan adanya UU khusus tentang sawit, perkebunan milik petani kecil (rakyat) akan semakin terlindungi.

Dari ketiga pertimbangan itu, perlu adanya kerangka payung hukum yang kuat, mengatur aspek hulu-hilir industri, hingga aspek sosial-ekonomi.

Firman juga mengatakan, dengan lahirnya UU khusus sawit maka komoditas tersebut secara formal telah ditetapkan sebagai komoditas strategis. Penetapan sawit sebagai komoditas strategis mempertimbangkan tiga hal, yakni mampu mendatangkan devisa negara, berkontribusi besar bagi pendapatan negara seperti pajak, dan mampu menjadi solusi dalam mengatasi kesenjangan sosial di Jawa dan luar Jawa.

Kata Firman, UU tersebut juga akan mengatur tentang pemanfaatan lahan gambut untuk budidaya ekonomi yang produktif.

Firman juga menampik anggapan jika RUU Perkelapasawitan lebih proinvestor. RUU tersebut dikatakan dibuat tanpa berat sebelah. Dengan mewakili kepentingan korporasi, petani, dan pemerintah.

Direktur Utama Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) Sawit  Bayu Krisnamurthi sebelumnya mengatakan, posisi strategis sawit bukan sebuah wacana atau rencana. Komoditas sawit menjadi strategis karena kondisi riil industri ini dan kinerja yang telah ditunjukkan.

Sawit menciptakan lebih dari empat juta kesempatan kerja petani dan tenaga kerja langsung, dengan sekitar dua belas juta kesempatan kerja tidak langsung. Petani sawit juga menikmati pendapatan yang mencapai empat sampai tujuh kali lebih besar dari pendapatan petani tanaman lain di lokasi yang sama.(Nrm/Ahm)