Sukses

Pengamat Minta Menteri ESDM Sempurnakan UU Minerba

Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa menuturkan, penyempurnaan UU Minerba mendesak dilakukan agar pengelolaan minerba bertanggung jawab

Liputan6.com, Jakarta - Menteri ESDM Archandra Tahar diingatkan tidak kehilangan momentum melanjutkan reformasi tata kelola sektor energi dan akselarasi pembangunan infrastruktur.

Ada tiga aspek yang harus diperhatikan antara lain reformasi institusi dan kelembagaan sektor migas dan minerba, percepatan penyediaan akses energi, dan inovasi kebijakan dan teknologi.

Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa menuturkan, reformasi sektor migas dan minerba itu meliputi penyusunan Undang-Undang Minyak dan Gas (UU Migas) untuk menggantikan UU Nomor 22 Tahun 2001 yang dibatalkan tiga kali oleh Mahkamah Konstitusi.

Saat ini UU Migas yang masih berlaku dipandang tidak lagi efektif sebagai payung hukum regulasi sektor migas yang semakin kompleks dan berisiko.

Selain itu, Fabby mengimbau Chandra‎ juga    harus    memastikan    keputusan    investasi migas   dilakukan    secara    terukur, proses    yang transparan berdasarkan    aturan main dan regulasi yang jelas.    

"Ketiadaan    perangkat hukum    dan    peraturan yang pasti telah terbukti menyurutkan    minat investasi    di sektor hulu    migas yang semakin turun dalam 10 tahun  terakhir ini," kata Fabby, di Jakarta, Jumat (29/7/2016).

Fabby melanjutkan, ‎penyempurnaan UU    Mineral    dan    Batubara (Minerba)    juga mendesak   dilakukan    untuk    memastikan    pengusahaan minerba   dilakukan secara bertanggung jawab, transparan    dan    berkelanjutan.

Ia menambahkan, penyempurnaan pelaksanaan kebijakan clean and clear   untuk izin-izin pertambangan perlu terus dilakukan, serta memutus praktik-praktik yang tidak sehat dalam pemberian izin dan    pengusahaan    pertambangan.    

Untuk itu Kementerian ESDM harus melanjutkan kerja sama yang lebih erat dengan KPK dan instansi lainnya. Ini untuk memastikan reformasi di sektor pertambangan tetap berlanjut dan berhasil.

Penyediaan akses energi untuk rakyat Indonesia secara bersih, berkelanjutan dan terjangkau harus menjadi prioritas Menteri ESDM.

2 dari 2 halaman

Akses Listrik

Pemerataan akses listrik bagi 9 juta rumah tangga yang belum terjangkau listrik hingga hari ini berdasarkan Rencana Pemerintah Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019.

Rasio elektrifikasi pun ditargetkan mencapai 96 persen pada akhir 2019. Menteri ESDM pun hanya punya waktu 3 tahun untuk menyediakan listrik bagi 6 juta rumah tangga dan meletakkan dasar-dasar yang kokoh untuk mencapai elektrifikasi 100 persen sebelum 2025.

Pada saat bersamaan, Menteri ESDM Archandra Tahar juga dituntut memastikan penyediaan pasokan listrik nasional untuk memenuhi kebutuhan energi listrik yang terus meningkat dan memenuhi target konsumsi listrik sebesar 1.200 kWh per kapita pada 2019 sebagaimana target RPJMN.
 
Untuk itu, pelaksanaan program 35 ribu MW tidak dapat diabaikan. Dalam hal ini Menteri ESDM harus memastikan kalau PLN mampu membangun pembangkit 10 ribu MW hingga 2019.

Selain itu memastikan jaringan transmisi dan distribusi yang dibutuhkan tepat waktu. Ia juga meminta Menteri ESDM memastikan agar realisasi pembangunan pembangkit listrik swasta (IPP) sebesar 25 ribu MW tidak terlambat.

"Penyediaan    tenaga    listrik    untuk daerah terpencil tidak boleh ditunda, dan    diperlukan    pendekatan    yang inovatif    dan    dukungan    pendanaan    sangat    diperlukan," tutur Fabby.

Untuk menjamin akses energi yang berkelanjutan, sekaligus membangun ketahanan energi jangka panjang, pengembanga energi terbarukan dan tindakan mendorong konservasi dan efisiensi energi juga perlu menjadi prioritas. Sesuai dengan target kebijakan energi nasional (KEN), energi terbarukan diharapkan dapat mencapai 23 persen dari bauran energi primer pada 2025.

"Pengembangan energi terbarukan    ini    memerlukan dukungan    pemerintah daerah, PLN, dan    melibatkan investor    swasta. Kehadiran kerangka regulasi dan insentif yang transparan dan adaptif, serta    rencana yang terukur diperlukan," ujar dia.    

"Kejelasan    mekanisme subsidi untuk    pembelian listrik dari energi terbarukan untuk PLN sebagai    off-taker perlu segera    diputuskan    pada tahun    ini. Ketiadaan mekanisme subsidi ini    disinyalir sebagai    salah    satu faktor    keengganan PLN mengimplementasikan kebijakan harga    beli energi terbarukan dari    pengembang," tambah dia. (Pew/Ahm)