Liputan6.com, Jakarta Perekonomian Indonesia selama ini salah satunya dikendalikan oleh konglomerasi (penggabungan) perusahaan, badan usaha milik negara (BUMN), korporasi asing. UMKMÂ yang diharapkan bisa tumbuh lebih cepat, kian tertinggal oleh kuatnya modal perusahaan-perusahaan besar ini.
Presiden Komisaris PT Pertamina (Persero), Tanri Abeng mengatakan, kemakmuran dan kesejahteraan rakyat secara merata adalah cita-cita setiap negara dalam membangun perekonomiannya. ‎Sayangnya, peranan pembangunan ekonomi ini lebih banyak ditopang lembaga atau perusahaan asing, konglomerasi perusahaan, dan BUMN.
"Di Indonesia, contohnya, pertumbuhan konglomerasi perusahaan sangat cepat dalam 15 tahun terakhir. Hal ini menimbulkan kesenjangan dengan entitas bisnis lain yang tidak memiliki kesempatan bertumbuh secara cepat, seperti Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM)," kata dia saat ditemui di acara World Islamic Economic ‎Forum (WIEF) ke-12 di JCC, Jakarta, Kamis (4/8/2016).
Advertisement
Menteri BUMN pertama di era pemerintahan BJ Habibie ini memberikan gambaran, dominasi konglomerasi perusahaan di Indonesia. Pada 15 tahun lalu, menurutnya, konglomerasi perusahaan nasional tumbuh melesat.
Sebagai contoh, salah satu perusahaan rokok terbesa‎r di Indonesia, di mana pemiliknya kini tidak hanya menjalani bisnis tersebut, namun melebarkan sayap dengan penguasaan saham di bank swasta, serta perkebunan dan memiliki usaha properti di Indonesia.
"Ini sudah jadi konglomerasi privat, yang dikuasai pengusaha. Kenapa? Karena kebijakan ‎di Indonesia memberikan rangsangan atau stimulus pada pertumbuhan konglomerasi ini," ia menerangkan.
Begitu pula dengan BUMN, ‎ucap Tanri Abeng, nilai aset perusahaan pelat merah 15 tahun lalu baru sebesar US$ 150 miliar. Namun kini sudah menembus US$ 600 miliar dengan 130 BUMN.
Menurut dia, konglomerasi perusahaan, BUMN, dan perusahaan multinasional mampu bertumbuh dengan cepat melalui kebijakan pemerintah. Namun tidak bagi usaha mikro, kecil, dan menengah ‎(UMKM). Sektor usaha ini, diakuinya, justru tertinggal jauh dengan entitas bisnis besar itu.
"UMKM tertinggal jauh, usahanya tidak bertumbuh baik dalam nilai aset maupun jumlah usaha. Sehingga ada kesenjangan makin lebar antar pelaku bisnis besar dengan UMKM," terang dia.
‎Tanri Abeng mengatakan, struktur korporasi di Indonesia terdiri dari kurang dari 5.000 perusahaan raksasa. Sementara jumlah UMKM mencapai 56,5 juta usaha, tapi 55,8 juta tidak mempunyai akses keuangan (bankable).
"UMKM tidak punya pasar, tidak punya akses jasa keuangan, sehingga memicu kesenjangan. Tak heran biarpun jumlahnya banyak, kendali ekonomi Indonesia bukan UMKM tapi perusahaan multinasional, konglomerasi, dan BUMN," tutur Tanri Abeng.