Liputan6.com, Jakarta - Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani telah menceritakan beratnya mengumpulkan setoran penerimaan negara saat ekonomi sedang melorot seperti sekarang ini, sementara pemerintah membutuhkan anggaran besar untuk membangun perekonomian nasional. Ketika menghadapi situasi sulit tersebut, pemerintah diimbau untuk menambah utang sebagai solusi memenuhi kebutuhan itu.
Ekonom dari Bank Permata, Josua Pardede menyebut bahwa Indonesia dihantam berbagai permasalahan yang sangat berpengaruh terhadap fiskal, di antaranya penurunan harga komoditas, kinerja perdagangan melemah, penerimaan Pajak Penghasilan (PPh) Migas dan Non Migas merosot.
Baca Juga
"Jadi shortfall (kekurangan) penerimaan pajak Rp 219 triliun meskipun dapat tambahan Rp 165 triliun dari tax amnesty. Sehingga pemerintah melebarkan defisit dari 2,35 persen menjadi 2,5 persen dari PDB," ujar dia saat dihubungi Liputan6.com, Jakarta, Minggu (7/8/2016).
Advertisement
Josua lebih lanjut menilai, pemerintah memiliki opsi lain untuk mencegah pelebaran defisit fiskal dengan merevisi bujet untuk menahan proses pencairan anggaran. Solusi lain mempersempit defisit, katanya, dengan menambah penerbitan obligasi (surat utang) secara khusus meskipun mengandung risiko.
"Penerbitan obligasi khusus ini berpotensi direspon negatif mengingat bertambahnya suplai obligasi di pasar akan menekan harga obligasi yang cenderung menguat paska reshuffle kabinet, euforia tax amnesty, dan belum naiknya suku bunga AS," jelas Josua.
Cara lainnya, sambung dia, menambah utang atau pinjaman dengan nilai sesuai kebutuhan sehingga defisit anggaran tetap terjaga kurang dari 3 persen terhadap PDB.
Josua berharap, ke depan, pemerintah perlu lebih realistis dalam menyusun Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2017 sehingga risiko pelebaran defisit anggaran lebih mengecil. Dengan begitu, pemerintah mempunyai ruang fiskal lebih besar untuk mengeluarkan stimulus fiskal yang efektif mendorong pemulihan daya beli masyarakat.
"Juga menjaga ekspektasi pasar khususnya terkait target pertumbuhan ekonomi yang masih rentan dipengaruhi ekonomi dunia dan China. Koordinasi pemerintah dan BI juga perlu ditingkatkan untuk menjaga sentimen pasar, jadi kalau ada dana keluar dari Indonesia, dampak negatifnya bisa diminimalkan," kata Josua.
Sebelumnya, Sri Mulyani memastikan pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini tidak akan terganggu meskipun terjadi pemangkasan anggaran hingga Rp 133,8 triliun. Kebijakan tersebut merupakan kali kedua di 2016, setelah sebelumnya anggaran negara dihemat Rp 50,6 triliun.
"Saya yakin bisa (menjaga pertumbuhan)," tegas Sri Mulyani.
Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2016, pemerintah dan DPR mematok pertumbuhan ekonomi di level 5,2 persen. Target ini turun dibanding kesepakatan di APBN Induk 2016 yang sebesar 5,3 persen.
Sri Mulyani beralasan, pemotongan anggaran tidak akan menyentuh program prioritas Kementerian dan Lembaga, seperti pembangunan infrastruktur maupun belanja barang, belanja modal yang sudah terikat dalam sebuah perjanjian atau kontrak.
"Presiden melihat banyak sekali ruang untuk efisiensi, apakah itu biaya perjalanan, dana operasional tidak terlalu penting. Tapi tidak memotong anggaran infrastruktur, hal-hal yang sudah dikontrakkan," terang Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu.
Pemerintah memproyeksikan terjadi shortfall (kekurangan) penerimaan pajak sebesar Rp 219 triliun di APBN-P 2016, sehingga perlu langkah penghematan hingga Rp 133 triliun. Defisit anggaran pun terancam melebar menjadi 2,5 persen dari Product Domestic Bruto (PDB) dan menambah utang Rp 17 triliun.
Kondisi pelemahan ekonomi China, diperkirakan Sri Mulyani akan berlangsung dalam jangka menengah, bukan lagi jangka pendek. Dampaknya, sambung dia, harga-harga komoditas rendah di pasar internasional dan mengganggu kinerja ekspor negara ini.
Akibat harga tambang, mineral, migas yang drop, tambah Sri Mulyani, pengusaha banting stir ke sektor perdagangan, perikanan, dan lainnya. Beruntung, ekonomi Indonesia masih bertumbuh positif saat ekonomi global turun.
"Tapi ekspor impor dan perdagangan masih negatif. Kalau terkontraksi, berarti ada perusahaan yang tutup, tidak menghasilkan atau produksinya turun," ujarnya.
Gambaran buruk situasi perekonomian dunia saat ini, diakui Sri Mulyani merupakan tantangan besar bagi pemerintah untuk menggenjot penerimaan pajak. "Mau punya Dirjen Pajak paling hebat, kerja 24 jam selama 7 hari pun bakal sulit karena sumber pajak turun," ucapnya.
Atas situasi tersebut, sambung Sri Mulyani, pemerintah sulit mengejar pajak dari Wajib Pajak baik perorangan maupun badan usaha karena kekhawatiran ekonomi semakin menyusut.
"Kita tidak mau seperti itu. Kita mau ekonomi kita makin membesar. Makanya kita jalankan tax amnesty untuk mengumpulkan pajak saat ekonomi lemah, karena pemerintah jadi mesin pertumbuhan untuk mengurangi kemiskinan dan menciptakan lapangan kerja," jelasnya.