Sukses

Genjot Bisnis Properti, Pengusaha Ingin Uang Muka Rumah Cuma 10%

Kebijakan uang muka pembelian rumah sebesar 10 persen pernah diterapkan sebelum tahun 2013.

Liputan6.com, Jakarta - Pengusaha properti yang tergabung dalam asosiasi Real Estate Indonesia (REI) menilai relaksasi loan to value (LTV) yang mendorong penurunan uang muka (down payment/DP) perumahan tidak akan berdampak besar terhadap penjualan hunian. Sebab, REI berpendapat penurunan uang muka rumah tidak signifikan seperti kebijakan sebelumnya.

Ketua Umum REI Eddy Hussy mengatakan, uang muka rumah pertama akan turun dari 20 persen menjadi 15 persen. Sementara 20 persen untuk rumah kedua, dan rumah ketiga turun menjadi 25 persen.

"Penurunan uang muka rumah seharusnya tidak usah tanggung-tanggung. Kalau begitu mah, dampaknya tidak banyak, bisnis properti belum akan terangkat. Kan tujuannya supaya properti kembali bergairah," tegas Eddy di Jakarta, seperti ditulis Senin (8/8/2016).

Menurutnya, uang muka rumah harus diturunkan sampai 10 persen dan tidak perlu diatur untuk rumah kedua, ketiga. Kebijakan ini pernah diterapkan sebelum periode 2013.  "Jadi harusnya kembali ke sebelum 2013, uang muka cuma 10 persen. Ini baru mengangkat sektor properti," ucap dia.

Apabila nanti pertumbuhan maupun permintaan rumah membludak, kata Eddy, otoritas bisa kembali menaikkan uang muka. "Kalau jalan, lalu kenaikkannya terlalu cepat, bisa saja dikunci lagi. Sekarang ini kalau dilepas sedikit-sedikit kurang mendorong," jelas dia.

Kebijakan tersebut diperlukan untuk mendorong pertumbuhan properti yang masih lesu. Dia bahkan pesimistis target pertumbuhan properti 10 persen tahun ini dapat tercapai.

"Pertumbuhan properti saja ditargetkan 10 persen di 2016 dibanding tahun lalu 6-7 persen, tapi tidak tahu bisa tercapai atau tidak. Karena kita pikir ekonomi bisa lebih bagus tahun ini," terang Eddy.

Eddy menuturkan, orang saat ini menahan membeli properti meskipun ada dana. Padahal, permintaan terhadap properti, seperti perumahan masih cukup besar.

Penyebabnya,  karena aturan LTV yang masih memberatkan, serta ketakutan orang membeli properti karena nanti akan menjadi sasaran pajak.

"Orang tidak mau belanja properti akhir-akhir ini. Selain masalah LTV yang masih berat dan perlambatan ekonomi, target pajak sangat tinggi sehingga petugas pajak insentif mengejar pembeli properti. Orang masih wait and see, uang seperti tidak beredar," keluh dia.

Harapan besar industri properti bertumpu pada realisasi repatriasi dana dari program pengampunan pajak (tax amnesty) yang diinvestasikan di Indonesia paling singkat tiga tahun.

"Repatriasi dana dari luar negeri dan dari Indonesia akan mengalir untuk investasi apartemen kelas menengah ke atas, mal, dan perkantoran. Jadi lebih kepada produk yang sudah ada," pungkas Eddy.(Fik/Nrm)

Video Terkini