Liputan6.com, Jakarta Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Bappenas, Bambang Brodjonegoro menegaskan pemerintah saat ini masih sulit mengandalkan ekspor untuk menopang pertumbuhan ekonomi nasional. Tulang punggung saat ini adalah konsumsi rumah tangga dan pengeluaran pemerintah.
Bambang menambahkan, Indonesia mampu mencetak pertumbuhan ekonomi 6 persen di 2010-2011 akibat model ekonomi yang menyesatkan. Artinya, bukan salah pada kebijakan, namun karena harga komoditas tinggi tapi tidak wajar akibat limpahan likuiditas dari negara maju yang mengalir ke negara berkembang.
Baca Juga
"Ekonomi 2011 tumbuh tinggi ditopang investasi dan ekspor. Tapi sekarang mengharapkan ekspor seperti mimpi di siang bolong karena permintaan sedang lemah, dan harga komoditas rendah," jelas Bambang di kantornya, Jakarta, Selasa (9/8/2016).
Advertisement
Negara ini, sambungnya, membutuhkan waktu untuk menggenjot ekspor dari produk unggulan di luar komoditas andalan saat ini. Sumber pertumbuhan ekonomi kuartal II-2016 sebesar 5,18 persen berasal dari konsumsi rumah tangga dan belanja pemerintah.
"Pertumbuhan ekonomi 5,18 persen bisa terjadi karena pemerintah turun tangan, tidak lepas tangan. Mengendalikan inflasi untuk menjaga daya beli masyarakat, sehingga konsumsi rumah tangga dijaga di kisaran 5 persen," paparnya.
Sumber pertumbuhan lainnya, diakui Mantan Menteri Keuangan itu, meningkatkan penyerapan belanja pemerintah. Termasuk menciptakan anggaran yang berkesinambungan dengan menghapus subsidi bahan bakar minyak (BBM) sejak 2 tahun terakhir.
"Jadi belanja pemerintah lebih berkualitas, karena belanja non produktif diperbaiki, investasi belanja modal diperbesar. Kita butuh pertumbuhan ekonomi supaya menciptakan lapangan kerja, mengurangi kemiskinan dan pengangguran," Bambang menerangkan.
Di samping itu, kata Bambang, pemerintah Indonesia terus menggenjot investasi dari penanaman modal asing (Foreign Direct Investment/FDI) meskipun banyak tantangan, salah satunya memperbaiki iklim investasi dan mengubah mentalitas institusi lebih bersahabat dengan kegiatan penanaman modal.
"Negara-negara berkembang, seperti Turki, Brazil, Afrika Selatan, India, Indonesia sedang kekeringan (investasi), makanya mereka berlomba-lomba berebut FDI, termasuk Indonesia, padahal sumber investasi terbatas," jelas Bambang.